Menyingkap Zaman Keemasan Perpustakaan: Refleksi Historis Zaman Kekhalifahan
Telah dipercayai oleh umum bahwa peradaban adalah hasil dari kejeniusan sebuah bangsa atau budaya, sehingga peradaban Yunani adalah hasil jenius bangsa Yunani, peradaban timur adalah hasil jenius dari bangsa-bangsa timur, begitu pula dengan peradaban barat yang sekarang sedang jaya-jayanya merupakan hasil jenius dari bangsa –bangsa barat.
Tetapi kejeniusan sebuah budaya tidak akan mungkin berkembang tanpa dukungan dan upaya yang sungguh-sungguh dan terencana. Upaya ini, dalam istilah yang paling singkat disebut upaya pendidikan. Tak satupun dari peradaban yang pernah jaya dalam sejarah yang tidak disertai dengan perhatian dan upaya yang sungguh-sungguh di bidang pendidikan. Pendidikan erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Sebuah peradaban yang baik akan melahirkan sebuah suasana dimana kemajuan ilmu pengetahuan dapat berjalan dengan cepat. Dalam kemeriahan suasana ilmiah ini akan tumbuh berbagai jenis lembaga pendidikan dengan berbagai ciri dan kekhususannya masing-masing, salah satu lembaga tersebut adalah perpustakaan.
Tak pelak lagi perpustakaan paling terkenal saat peradaban timur berjaya adalah Bayt Al-hikmah, suatu gabungan lembaga riset, perpustakaan dan biro penerjemahan, didirikan oleh khalifah Abbasiah, Harun Ar Rasyid di Baghdad pada 830 M. Banyak diantara buku-buku terjemahan dari bahasa-bahasa bukan Arab seperti bahasa Yunani dan Sanskrit, yang menyemarakan perpustakaan ini, yang terdaftar dalam sebuah katalog bernama Fibrist karya Ibn Al Nadim dan Kasyif karya Haji khalifah. Putra Harun Ar Rasyid , Khalifah Al Makmun Al Rasyid, diriwayatkan telah memperkerjakan cendekiawan-cendekiawan terkenal seperti Al Kindi -filosof-, untuk menerjemahkan karya-karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Al Kindi sendiri menulis hampir tiga ratus buku tentang masalah-maslah kedokteran, filsafat sampai musik yang disimpan di Bayt Al-hikmah. Musa Alkhawarizmi, matematikawan ternama dan penemu aljabar juga bekerja di tempat ini dan menulis buku terkenalnya kitab Al-jabr wa’al-muqabilah.
Perpustakaan lain yang tak kalah besarnya adalah perpustakaan di Madrasah Nizamiah yang didirikan pada 1065 M oleh Nizam Al Mulk yang merupakan seorang perdana mentri dalam pemerintahan Saljuq Malik Syah. Koleksi di perpustakaan ini diperoleh sebagian besar melalui sumbangan : misalnya sejarawan Ibn Al-Atsir mengatakan bahwa Muhib Al-Din ibn Al-Najjar Albaghdadi mewariskan dua koleksi besar pribadinya kepada perpustakaan ini. Khalifah Al-Nashir menyumbangkan beribu-ribu buku dari koleksi kerajaannya. Nizamiah memperkerjakan pustakawan-pustakawan tetap sebagai staf, yang menerima gaji besar. Hal ini bukan hanya terjadi di perpustakaan Nizamiah saja , hampir di seluruh perpustakaan zaman tersebut. Bahkan Al Nadim memaparkan adanya tanda-tanda keirihatian yang jelas terhadapa para pustakawan –khususnya pustakawan Bayt Al Hikmah, sebab mereka memiliki kedudukan yang tinggi di dalam masyarakat, dan karena kecendikiawanan mereka. Beberapa pustakawan terkenal Nizamiah adalah Abu Zakariah Tibrizi dan Ya’qub ibn Sulaiman AL-Askari. Pada tahun 1116 M perpustakaan ini mengalami musibah : kebakaran hebat yang menghabiskan seluruh bangunan dan isinya.
Di Baghdad, Khalifah Mustansir Billah mendirikan sebuah perpustakaan yang luar biasa di madrasah yang didirikan pada 1227 M. Uniknya perpustakaan ini memiliki rumah sakit di dalamnya. Perpustakan ini bertindak baik sebagai madrasah maupun rumah sakit. Pengelana dunia terkenal Ibn Baththuthah melukiskan dengan jelas Mustanriah dan perpustakaannya, melalui sumbangan-sumbangan sekitar 150 unta dengan muatan buku-buku yang langka disumbangkan ke perpustakaan ini. Perpustakaan ini memiliki koleksi yang cukup besar, dari milik kerajaan saja perpustakaan Mustanriah mendapatkan 80.000 buku.
Tetapi bukan hanya Baghdad yang memiliki perpustakaan, hampir diseluruh kota besar di dunia timur saat itu memiliki perpustakaan, Kairo misalnya memiliki perpustakaan yang dapat menampung 1.6 juta buku yang disimpan dengan menggunakan suatu sistem pengklasifikasian yang canggih. Biasanya koleksi perpustakaanya adalah koleksi pribadai para khalifah. Perpustakaan-perpustakaan di Kairo terbuka untuk umum, mereka yang ingin menghabiskan waktu untuk menelaah juga diberi penginapan, makan dan gaji. Keadaan perpustakaan di Mesir ini dapat dilihat dari perkataan Filosof besar Ibn Sina yang suatu ketika berkunjung kesana :
” Disana, saya menemukan sejumlah ruangan yang penuh dengan buku, tersusun dalam lemari-lemari yang ditata dalam barisan yang rapi. Satu ruangan dikhusukan bagi buku-buku tentang bahasa dan puisi; ruangan lain untuk bidang hukum; dan seterusnya; kumpulan buku dalam bidang tertentu mempunyai ruangannya sendiri. Lalu saya (Ibnu Sina) meneliti katalog penulis Yunani kuno dan mencari buku yang saya butuhkan . Dalam koleksi perpustakaan in saya menemukan sejumlah buku yang hanya diketahui oleh sedikit orang saja, dan buku-buku yang belum pernah saya lihat dan tak pernah lagi saya lihat sesudahnya”.
Perpustakaan –perpustakaan zaman tersebut tidak saja dilindungi dan ditopang oleh para khalifah, tetapi juga para raja-raja kecil juga memberikan sumbangan mereka bagi berdirinya perpustakaan-perpustakaan. Maka tak heran saat itu banyak timbul perpustakaan pribadi, salah satunya adalah perpustakaan pribadi milik Mahmud Al Daulah ibn Fatik yang mempunyai cerita unik. Mahmoud Daulah Al Fatik adalah seorang ahli dalam menulis dan kolektor besar, menjadi terkenal karena ia menghabiskan semua waktunya di perpustakaannya untuk membaca dan menulis. Keluarganya merasa sedemikian diabaikan, sehingga ketika ia meninggal, keluarganya berupaya untuk membuang buku-bukunya karena dibakar oleh kemarahan. Para pelindung perpustakaan juga mencurahkan sebagian besar pemikirannya untuk desain, tata letak dan arsitektur perpustakaan agar masyarakat luas dapat menjangkau buku-buku dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan dengan mudah. Kebanyakan perpustakaan-perpustakaan tersebut ditempatkan di gedung yang dirancang secara khusus untuk itu, dengan banyak ruangan untuk berbagai tujuan, galeri-galeri dengan rak buku, ruangan-ruangan untuk kuliah dan debat, termasuk juga ruangan-ruangan untuk hiburan musikal. Semua ruangan berpermadani sehingga para pembaca dapat duduk diatasnya. Gorden-gordennya menciptakan suasana menyenangkan dan pengaturan ruangan menciptakan suhu yang sesuai.
Dilihat dari penataan koleksi, perpustakaan-perpustakaan zaman tersebut sudah menata buku berdasarkan klasifikasi ilmu pengetahuan tertentu. Mereka telah membuat sistem klasifikasi ilmu pengetahuan yang diterapkan untuk penataan buku di perpustakaan. Diantara klasifikasi yang paling terkenal adalah yang dibuat oleh : Al-Kindi (801-973 M ), Al Farabi (wafat pada 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111M), Al-Razi (864-925 M) dan Ibnu Khaldun (1332-1403 M). Pustakawan sebagai seorang yang bekerja di perpustakaan juga memiliki kualitas yang benar-benar tinggi. Terdapat beberapa pustakawan yang bertindak sebagi pustakawan dilain pihak mereka juga adalah penulis-penulis terkenal karya-karya terjemahann dari bahasa Yunani dan Persia. Misalnya perpustakaan Subur dipimpin oleh Al Murthadha, seorang ’alim dan cukup besar pengaruhnya dikalangan cendikiawan. Dar Al’Ilm di Kairo dipimpin oleh hakim Abd Al-Aziz, yang terkenal karena penguasaannya akan yurisprudensi. Profesi pustakawan zaman itu memberikan kehormatan yang tinggi dan gaji yang cukup besar. (Andy-Dpra Tegal Parang, Mampang)
Dari berbagai sumber.
http://www.pks-jaksel.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=1396