Rabu, 02 Januari 2008

Dilema Hukum Taman Bacaan

WAKTU jam istirahat pada sekolah dasar negeri, seorang murid dikelilingi teman-temannya. Kepada teman-temannya dengan bangganya dia bercerita tentang komik terbarunya. Teman-temannya mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian sambil sesekali bertanya untuk memenuhi rasa keingintahuan mereka terhadap komik tersebut. Beberapa saat kemudian, ia kembali bercerita mengenai komik lainnya yang tentunya belum dibaca temannya.
Di tempat lain, seorang mahasiswi rantau terlihat tenggelam pada kisah romantisme Khalil Gibran. Setelah puas dengan romantisme Gibran, dia kembali tenggelam dalam kisah Gunung Jiwa, sebuah novel autobiografis karya Gao Xingjian.
Beberapa pertanyaan menggelitik timbul dari kedua kejadian di atas. Apakah komik ataupun novel yang harganya sangat tinggi seperti saat ini masih dapat dijangkau oleh kantong murid sekolah dasar ataupun mahasiswa? Bila tidak, bagaimana mungkin mereka dapat menikmati kisah kisah tersebut?
Setelah diperhatikan, ternyata murid dan mahasiswa tersebut tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli bacaan tersebut untuk menikmati kisah di dalamnya. Mereka cukup menyewa bacaan tersebut pada sebuah taman bacaan dengan mengeluarkan biaya sewa yang tentunya jauh lebih murah daripada membeli bacaan tersebut.
Murid sekolah dasar dan mahasiswi di atas adalah gambaran dari sebagian warga Bandung yang masih memiliki minat baca yang besar, tetapi mereka dihadapkan pada tingginya harga buku. Karena tidak dapat menjangkau harga buku, maka penyewaan buku pada taman bacaan adalah salah satu cara untuk memuaskan hasrat baca mereka. Kondisi ini disadari oleh pebisnis di Bandung, yang kemudian beramai-ramai membangun taman bacaan pada hampir setiap sudut keramaian di Kota Bandung.
Menjamurnya taman bacaan di Kota Bandung belakangan ini merupakan fenomena yang menarik untuk diperhatikan. taman bacaan ini pada umumnya menyewakan berbagai bacaan seperti komik, novel, majalah berkala, untuk dibaca masyarakat umum. Sebagian taman bacaan menyediakan tempat khusus pada lingkungan taman bacaan untuk membaca bacaan tersebut, sedangkan taman bacaan lainnya tidak menyediakan tempat khusus (sehingga bacaan tersebut dibaca di tempat lain di luar taman bacaan). Pada umumnya taman bacaan mengenakan biaya sewa sebesar 5% dari banderol harga buku untuk buku yang dibaca di taman bacaan, dan 10% dari banderol harga buku untuk buku yang dibaca di luar taman bacaan.
Di satu sisi, menjamurnya taman bacaan ini akan menimbulkan berbagai dampak positif pada masyarakat sekitar taman bacaan, seperti: memberikan kesempatan bagi masyarakat yang memiliki dana yang sangat terbatas (khususnya pelajar) untuk membaca bacaan yang lebih banyak dengan biaya yang lebih murah, dan meningkatkan minat baca pada masyarakat sekitar. Di sisi lainnya, apabila tidak dikelola dengan baik menjamurnya taman bacaan dapat menimbulkan berbagai pelanggaran tehadap peraturan perundangan di Indonesia, seperti mengenai izin usaha, pajak penghasilan, dan hak cipta.
Isu hak cipta merupakan isu yang mendapat perhatian yang lebih baik secara internasional dan nasional. Secara internasonal, hak cipta merupakan masalah yang serius untuk diperhatikan setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Konvensi Bern untuk Perlindungan Karya Sastra dan Seni dan ratifikasi Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs) yang merupakan salah satu lampiran pada naskah akhir Putaran Uruguay GATT (General Agreement on Tariff and Trade) melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization).
Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia wajib memberikan perlindungan bagi karya cipta baik dalam maupun luar negeri sesuai dengan perlindungan pada perjanjian internasional, termasuk karya sastra pada buku yang disewakan pada taman bacaan tersebut.
Secara nasional, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 2002) menempatkan buku sebagai salah satu bentuk ciptaan yang perlu mendapatkan perlindungan hak cipta pada Pasal 12 ayat (1) butir (a) UUHC 2002.
Dengan masuknya buku sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi oleh UUHC 2002, seluruh warga negara wajib menghormati hak moral dan hak ekonomi yang merupakan bagian hak cipta pencipta (dalam hal ini pengarang buku) dari sebuah karya cipta buku. Yang dimaksud hak moral pencipta pada ciptaan buku adalah hak untuk menjaga integritas buku (baik cerita maupun gambar) dari setiap intervensi pihak lain yang dapat merusak kreativitas pencipta (pengarang) buku, sedangkan hak ekonomis adalah hak yang dimiliki pencipta (pengarang) buku untuk menikmati keuntungan ekonomis dari setiap eksploitasi buku ciptaannya.
Melalui Pasal 1 ayat (1) UUHC 2002, dapat diketahui definisi hak cipta yaitu hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Melalui defenisi tersebut, dapat diketahui bahwa hak cipta merupakan hak yang bersifat eksklusif yang berarti tidak ada pihak lain yang boleh melakukan pengumuman dan atau perbanyakan karya cipta tanpa izin pencipta, apalagi kegiatan tersebut bersifat komersil.
Pada awalnya, pengarang buku sebagai pencipta buku mempunyai hak eksklusif atas setiap bentuk eksploitasi buku karangannya. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 3 UUHC 2002, pengarang buku dapat mengalihkan sebagian ataupun seluruh hak untuk mengeksploitasi buku karangannya tersebut kepada pihak lain (selanjutnya disebut penerima hak), sehingga penerima hak dapat melakukan eksploitasi buku karangannya. Bentuk eksploitasi, jangka waktu dan ketentuan lain berkaitan eksploitasi buku oleh pihak penerima hak, terbatas pada kesepakatan antara pengarang dan penerima hak yang wajib dilakukan secara tertulis (baik dengan maupun akta notariil).
Penyewaan buku merupakan salah bentuk eksploitasi buku yang dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Hal ini karena pihak yang menyewakan buku (seperti taman bacaan) memperoleh keuntungan ekonomis dari biaya sewa yang dikenakan pada setiap buku yang disewakan. Karena penyewaan buku merupakan salah satu bentuk eksploitasi buku yang bersifat komersial, setiap kegiatan penyewaan buku wajib memperoleh izin penyewaan dari pemegang hak penyewaan (rental right).
Selain itu, penyewaan buku merupakan salah satu bentuk pengumuman karya cipta yang diatur dalam Pasal 1 ayat (5) UUHC 2002 yang menyatakan "Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain". Hal ini karena penyewaan buku merupakan tindakan yang mengedarkan ataupun menyebarkan suatu karya cipta (buku) sehingga karya cipta tersebut (buku) dapat dibaca oleh pihak lain. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUHC 2002, penyewaan buku harus memperoleh izin dari pemegang hak penyewakan (rental right holders).
Kepada siapa taman bacaan harus meminta izin penyewaan buku? UUHC 2002 mewajibkan pemakai hak cipta (users) seperti taman bacaan meminta izin kepada pencipta ataupun pemegang hak cipta (yaitu pemegang hak penyewaan). Taman bacaan wajib meminta izin penyewaan kepada pengarang buku apabila pengarang belum mengalihkan hak penyewaan kepada pihak lain secara eksklusif. Apabila pengarang sudah mengalihkan hak penyewaan kepada pihak lain (penerima hak) secara eksklusif, maka users wajib meminta izin dari pihak penerima hak penyewaan tersebut.
Pihak pengelola taman bacaan pada umumnya tidak sadar (atau pura-pura tidak sadar) akan kondisi ini. Padahal, menurut UUHC 2002 pencipta ataupun pemegang hak menyewakan dapat menuntut taman bacaan yang menyewakan buku tanpa izin secara perdata untuk mengganti kerugian sebesar kerugian yang dirasakan oleh pencipta ataupun pemegang hak penyewaan. Selain gugatan secara perdata, berdasarkan Pasal 72 ayat (1) UUHC 2002 pengelola taman bacaan juga dapat diancam secara pidana dengan ancaman pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Penyewaan buku tanpa izin oleh taman bacaan ini akan membuat tingkat pelanggaran hak kekayaan intelektual di Indonesia semakin tinggi. Kondisi ini membuat Indonesia yang belum bisa lepas dari krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis multi dimensi sejak 1998 semakin terpuruk. Pandangan negatif dunia internasional terhadap upaya pemerintah dalam penegakan hak atas kekayaan intelektual di Indonesia masih dianggap setengah hati. Hal ini dapat dilihat dari belum lepasnya Indonesia dari Priority Watch List oleh US Trade Representative (USTR). Akibatnya, Indonesia terancam akan tindakan balasan (retaliation) di bidang ekonomi yang dapat dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat yang mempergunakan Special 301 yang ada pada United Trade Act. Apabila tindakan pembalasan ini menjadi kenyataan, kondisi perekonomian di Indonesia akan jauh lebih terpuruk.
Oleh karena itu, pemerintah dan segenap bangsa Indonesia harus bekerja sama dan sama-sama bekerja dalam memperbaiki perlindungan hak atas kekayaan intelektual di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menghormati hak penyewaan (rental right) buku. Bagi pengelola taman bacaan, diperlukan iktikad baik untuk meminta izin penyewaan dari pencipta ataupun pemegang hak penyewaan atas setiap buku yang akan disewakan. Bagi pencipta dan pemegang hak penyewaan, sudah saatnya membentuk suatu organisasi profesi yang mengurus hak penyewaan (rental right) buku agar mekanisme pemberian izin penyewaan menjadi sederhana (seperti yang dilakukan YKCI dalam mengurus hak mengumumkan karya cipta lagu). Aktifnya penegak hukum, seperti polisi, dalam menindak pelanggar hak cipta seperti penyewaan buku tanpa izin juga memengaruhi tingkat pelanggaran hak cipta.
Bagi pemerintah, perlunya sosialisasi yang lebih aktif kepada masyarakat umum mengenai pentingnya perlindungan hak cipta. Bagi masyarakat umum, kesadaran untuk tidak mendukung pelanggaran hak cipta (misalnya tidak menyewa buku yang tidak memiliki izin penyewaan) adalah kunci dari perlindungan hak cipta yang merupakan bagian hak kekayaan intelektual di Indonesia.
Dengan kerja sama masing-masing pihak, perlindungan hak cipta di Indonesia tentunya akan lebih baik. Hal ini tentunya akan menambah minat bagi masyarakat umum untuk mencipta karya-karya sastra yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Semoga.***

Teknologi di Perpustakaan

Teknologi di Perpustakaan
Diskusi tentang teknologi informasi, termasuk teknologi informasi di perpustakaan, khususnya lagi tentang aplikasi komputer, seringkali hanya menyangkut kebendaan teknologi: hardware, software, harga, alat, besar/kecil, kecepatan mesin, dan sebagainya. Saya rasa ada kesalahan besar dalam cara kita memandang teknologi, kalau cuma itu yang kita diskusikan. Juga salah besar kalau kita hanya bicara tentang "skill": ketrampilan, pengetahuan tentang produk terbaru, di mana membelinya, dan sebagainya. Apalagi kalau kita hanya membicarakan harga dan akhirnya berkonsentrasi pada nilai finansial sebuah teknologiAda yang kita lupakan, mungkin karena kita anggap tidak penting. Setiap teknologi --termasuk komputer-- mengandung tata nilai, dan di dalam tata nilai ini ada yang dinamakan "trust". Susah menerjemahkan secara tuntas, apa yang dimaksud dengan "trust" ini.Barangkali contoh kongkrit bisa menjelaskan.Pernahkah Anda tidak yakin atau tidak percaya bahwa mobil terbaru yang dijual di toko bisa berfungsi dengan baik? Saya yakin, jarang sekali orang yang tidak yakin bahwa mobil baru bisa jalan. Mobil pada umumnya adalah teknologi yang sudah mengandung nilai "trust" tinggi. Orang percaya kepada fungsinya. Tidak hanya itu, orang juga mengenakan banyak nilai kepada teknologi ini, mulai dari gengsi, hidup yang efisien, keamanan, dan sebagainya. Semua nilai ini membentuk "trust" yang kemudian menjadi bagian dari nilai kehidupan masyarakat umum.Walaupun seseorang tidak punya "skill" sama sekali tentang permobilan, ia tetap bisa menggunakan "trust" ini kalau diminta menilai sebuah mobil baru. Orang yang tidak punya uang pun, tetap bisa menggunakan "trust" ini. Terlebih lagi, "trust" ini juga sudah komplit. Artinya, "trust" itu bukan hanya pada kebendaan. Bukan hanya pada yang tampak ketika kita melihat sebuah mobil. Masyarakat Indonesia sudah punya "trust" kepada mobil sampai kepada aspek-aspek yang tidak tampak. Kita menaruh hormat kepada pembuatnya (teknolognya), walaupun kita tidak tahu pembuatnya. Kita menaruh hormat kepada penjualnya, walaupun penjualnya menipu kita dengan harga kelewat tinggi. Kita bahkan menaruh hormat kepada semua pemilikmobil di Indonesia, walaupun sering juga marah kalau mobil kita diserempet.Sekarang coba kita alihkan ke komputer di perpustakaan. Pernahkah Anda tidak yakin bahwa komputer bisa berfungsi? Saya yakin, jumlah orang yang menjawab "ya" akan lebih besar daripada yang menjawab "ya" soal mobil. Teknologi komputer di Indonesia adalah teknologi yang belum punya "trust" di masyarakat Indonesia. Ini terlepas dari banyaknya ahli teknologi yang "skill"-nya tinggi. Ini juga terlepas dari seberapa besar daya beli masyarakat. Ini juga terlepas dari seberapa banyak orang yang bisa menggunakan komputer (computer literate). Bandingkan jumlah orang yang "mengerti mobil" dengan jumlah orang yang "mengerti komputer". Mungkin sebanding. Tetapi "trust" ke mobil dan ke komputer berbeda jauh!Mengapa "trust" kepada komputer rendah di Indonesia -khususnya di bidang perpustakaan?Salah satu sebab utamanya, menurut saya, karena dominasi industri dan ketimpangan antara janji vendor dan unjuk-kerja sesungguhnya. Industri komputer di Indonesia selalu mengumbar janji muluk, dan para vendor selalu bicara kelewat tinggi. Padahal, ketika komputer dipakai di tempat kerja, hasilnya juga tidak seberapa. Perbankan Indonesia menggunakan komputer sangat canggih. Tetapi kebangkrutan dan "penipuan" kepada konsumen juga sangat tinggi. Jadi, teknologi komputer benar-benar tidak ada gunanya, kalau yang bicara adalah orang yang kehilangan tabungan gara-gara bank-nya brengsek.Di dunia perpustakaan Indonesia, vendor komputer belum begitu dominan. Yang dominan adalah pribadi-pribadi dengan ketrampilan komputer lebih tinggi dari koleganya. Kalau tidak hati-hati, pribadi-pribadi ini nanti akan bertingkah laku seperti vendor-vendor komputer kampungan di Indonesia. Mereka akan mengumbar janji tentang kehebatan komputer, tetapi kemudian tidak bisa bertanggungjawab jika janjinya tidak terwujud.Seorang rekan teknolog pernah bertanya kepada saya: mengapa sulit sekali mengembangkan teknologi komputer di perpustakaan, padahal sudah jelas komputer adalah teknologi hebat?Saya jawab dengan mantap dan penuh percaya-diri: you have not gained their trust. Para teknolog kita belum dapat meyakinkan pustakawan, stakeholder perpustakaan, pemakai jasa perpustakaan, dan masyarakat sekitar perpustakaan, bahwa teknologi komputer berguna untuk kepustakawanan

APLIKASI OTOMASI PERPUSTAKAAN

Baru-baru ini ITB dengan KMRG mengeluarkan aplikasi terbaru dibidang perpustakaan. Aplikasi tersebut adalah Otomigen X dan GDL Versi 4.2. Kedua program tersebut dapat didownload secara gratis pada website KMRG.
Otomigen X adalah aplikasi untuk otomasi perpustakaan, sedangkan GDL Versi 4.2 merupakan aplikasi perpustakaan digital. Software-software ini menambah perbendaharaan software perpustakaan berbasis open source. Aplikasi ini mudah untuk diamplikasikan dan tersedia manual untuk mengaplikasikan berbagai aplikasi tersebut.

Sosiologi Informasi: Suatu Kajian Tentang Dinamika Informasi dan Dampaknya bagi Masyarakat


Sosiologi Informasi: Suatu Kajian Tentang Dinamika Informasi dan Dampaknya bagi Masyarakat
Oleh:
Heri Abi Burachman Hakim
Pendahuluan
Perkembangan dari masa kemasa terjadi sangat dinamis. Dimulai dari zaman batu hingga zaman yang serba canggih seperti saat ini. dinamisnya dinamika masyarakat ini menjadikan masyarakat menjadi objek yang menarik untuk diteliti atau dijadikan kajian suatu disiplin ilmu. Banyak hal yang menarik untuk diamati didalam interaksi sosial dimasyarakat.
Salah disiplin ilmu yang mempelajari tentang masyarakat adalah sosiologi. Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya “Sosiologi Suatu Pengantar” mendifinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari struktur social, proses-proses social dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi didalamnya. Dari pengertian diatas maka dalam sosiologi dipelajari mengenai struktur sosial yang ada dimasyarakat, pranata sosial yang ada didalamnya, instraksi sosial yang terjadi serta perubahan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat.
Saat ini ilmu sosiologi sendiri memiliki berberapa jenis antara lain sosiologi hokum, sosiologi industri, sosiologi desa, sosiologi kota, sosiologi pendidikan, sosiologi islam dan masih banyak jenis ilmu sosiologi lainnya. Semua jenis ilmu sosiologi ini muncul seiring dengan dinamika masyarakat karena objek dari disimpin ilmu ini adalah masyarakat itu sendiri.
Bahkan saat ini muncul jenis ilmu sosiologi yang baru, seperti sosiologi informasi. Sosiologi informasi muncul seiring dengan ledakan atau dinamika informasi yang terjadi di masyarakat. Dan disadari atau tidak dinamika informasi yang terjadi membawa perubahan bagi masyarakat. Karena objek sosiologi adalah masyarakat dan segala sesuatu yang terjadi dimasyarakat merupakan kajian dari disiplin ilmu ini maka informasi juga perlu dikaji sehingga munculnya sosiologi informasi.
Sebenarnya seperti apakah sosiologi informasi itu serta perubahan apa saja yang dibawa informasi bagi kehidupan masyarakat akan coba dibahas dalam makalah ini. sebagai disiplin ilmu baru, literature tentang sosiologi informasi sangat terbatas. Keterbatasan literature tentang sosiologi informasi ini yang menjadi salah satu penyebab kesulitan kelompok kami dalam menyusun makalah ini sehingga makalah singkat ini hanya merupakan stimulan bagi kita untuk berdiskusi dan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang apa itu sosiologi informasi.

Pembahasan
Definisi sosiologi informasi
Untuk memperoleh difinisi mengenai sosiologi informasi maka terlebih dahulu apa itu sosiologi dan definis dari informasi itu sendiri. Sebagaimana telah disebutkan pada pendahuluan bahwa sosiologi adalah ilmu masyarakat yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Sedangkan untuk memperoleh definisi tentang informasi maka terlebih dahulu kita mengetahui definisi dari data. Data adalah fakta-fakta baik berupa angka-angka, teks, dokumen, gambar, bagan, suara yang mewakili deskripsi verbal atau kode-kode tertentu. Data-data yang diolah melalui suatu sistem penglola sehingga memiliki arti dan bernilai bagi sesorang, maka data tersebut disebut sebagai informasi (Kumorotomo dan Margono ; 1998).
Dari definisi sosiologi dan informasi maka coba ditarik benang merah sehingga dapat diketahui tentang definisi sosiologi informasi. Sosiologi informasi merupakan cabang disipilin ilmu yang mempelajari mengenai bagaimana masyarakat memanfaatkan informasi, proses-proses sosial yang terjadi saat akses informasi serta perubahan sosial yang terjadi akibat informasi.
Eksistensi informasi bagi masyarakat
Menurut Toffler dalam buku karangan wahyudi kumoroto dan Subandono Agus margono menyebutkan bahwa peradaban yang pernah dan sedang dijalani oleh umat manusia terbagi tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang dimana tahapan manusia ditandai dengan peradaban agraris dan pemanfaatan energi terbarukan (8000 sebelum masehi – 1700). Gelombang kedua ditandainya dengan munculnya revolusi industri (1700 – 1970-an). Dan gelombang terakhir adalah peradaban yang didukung dengan kemajuan teknologi informasi, pengolahan data, penerbangan, aplikasi luar angkasa, bioteknologi dan computer.
Saat ini, berdasarkan realitas yang ada, sudah jelas bahwa kita berada pada gelombang ketiga, dimana kita hidup di zaman yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi yang memicu terjadinya ledakan informasi. Ledakan informasi yang terjadi membawa berubahan besar dalam kehidupan umat manusia. Kita telah mengalami masa peralih dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.
Informasi saat ini menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia, baik itu individu maupun institusi. Informasi ikut berperan dalam menentukan keberhasilan seseorang dan institusi. Peneliti, dosen, mahasiswa dan pelajar sangat memerlukan informasi untuk mendukung sukses belajar dan kegiatan penelitiannya. Bagi institusi informasi sangat membantu dalam mencapai tujuan yang ditetapkan serta dalam proses keputusan. Sebagai contoh dalam dunia pendidikan dikenal SIA (Sistem Informasi Akademik) yang sangat membantu dalam pengelolaan informasi dan pengambilan keputusan di dunia pendidikan tinggi, sedangkan dalam dunia industri saat ini mereka berlomba-lomba membangun sistem informasi manajemen (SIM) yang handal sehingga dapat membantu pemimpin perusahaan dalam mengambil kebijakan dan strategi yang harus diambil perusahaan. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa masyarakat saat ini adalah masyarakat informasi. Hal ini dapat dilihat dari posisi stragegis informasi itu sendiri bagi kehidupan masyarakat serta sikap masyarakat dalam memberlakukan informasi.
Dapat diambil contoh keberhasilan seseorang yang diperoleh karena dia mampu mengelola informasi secara baik adalah mantan presiden Soeharto. Beliau mampu merekayasa informasi sehingga masyarakat Indonesia terbuai dengan kepemimpinannya dan beliau mampu menjadi presiden RI terlama sepanjang sejarah. Padahal kepemimpinan beliau tersebut meninggalkan banyak persoalan yang belum terselesaikan sampai saat ini.
Selain itu masyarakat informasi juga ditandai dengan tumbuh suburnya industri yang produknya adalah informasi. Industri tersebut eksis karena informasi yang merupakah produknya dikonsumsi oleh masyarakat. Artinya masyarakat saat ini sangat membutuhkan informasi. Industri pertelevisian, radio dan media massa merupakan contoh dari industri informasi yang tumbuh subur saat ini.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memegang peranan penting dalam distribusi informasi dan memicu terjadi ledakan informasi. Teknologi informasi dan komunikasi ikut andil dalam pembentukan masyarakat.
Perkembangan teknologi computer, internet, produk-produk komunikasi serta semakin majunya dunia broadcasting menyebabkan informasi dapat didistribusikan dengan mudah, cepat dan tepat. Waktu dan letak geografis tidak lagi menjadi masalah dalam distribusi informasi. Informasi dapat disampaikan kepada mereka yang membutuhkan dengan kemajuan teknologi yang ada.
Internet menyediakan beberapa fasilitas seperti web browser, mail, chatting yang dapat digunakan untuk menelusur informasi dari berbagai penjuru dunia dan berkomunikasi atau menyampaikan informasi kepada mereka yang butuhkan secara cepat. Produk-produk komunikasi seperti telpon, telpon genggam, personal digital asisten (PDA) juga semakin memperlancar proses distribusi informasi. Perkembangan dunia broadcasting tidak ketinggalan dalam menyampaikan informasi kepada masyrakat, dan seiring dengan harga perangkat televise dan radio yang semakin murah memungkinkan masyarakat memperoleh informasi melalui dua media tersebut.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadikan masyarakat di dunia berada dalam satu jaringan besar. Jaringan besar tersebut yang memungkinkan distribusi informasi berjalan secara cepat, tepat dan masyarakat mudah untuk mengaksesnya. Informasi dengan perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang ada saat ini menjadikan informasi layaknya produk makanan instant yang setiap saat dapat dikonsumsi. Informasi saat ini seolah-olah berada digenggaman tangan masyarakat.

Perubahan sosial di era masyarakat informasi
Ledakan informasi dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi membawa perubahan dalam masyarakat saat ini. Perubahan itu meliputi perubahan te perubahan sikap masyarakat dalam interaksi sosial sehari-hari atau perubahan yang terjadi pada pranata sosial yang ada dimasyarakat saat ini.
Perubahan sosial yang terjadi dalam konteks sikap masyarakat dapat dilihat dari pola interaksi masyarakat dan bagaimana masyarakat bersikap dengan informasi yang ada. Saat ini masyarakat semakin kritis, cerdas dan berani. Kritis yang dimaksudkan disini adalah sikap kritis untuk mengkritisi berbagai persoalan yang ada disekitarnya mulai itu dalam bidang pendidikan bahkan sampai politik. Masyarakat mulai berani menggungkapkan pendapat apabila sesuatu persoalan tidak sepaham dengan pendapat yang dimilikinya. Kondisi ini terjadi karena informasi saat ini dapat diperoleh dengan mudah dan saat ini kita berada dalam era keterbukaan. Semua dapat berkomentar di era semacam ini tentunya dengan etika argumentasi tersebut harus didasari oleh teori atau informasi yang dapat dipertanggung jawabkan. Ini tentu tidak mungkin dilakukan jika berada pada masa berberapa tahun lalu terutama sebelum era reformasi.
Dinamika informasi yang terjadi memotivasi masyarakat dan mencerdaskan masyarakat. Saat ini setiap orang dapat memanfaatkan informasi dengan tujuan menambah wawasan, belajar atau hanya sekedar untuk hiburan, mereka dapat mengakses informasi tanpa membedakan status sosial yang disandang seiring dengan demokratisasi informasi. Fenomena ini tentu sangat menggembirakan bangsa ini karena dapat berperan dalam mencerdaskan bangsa Indonesia.
Untuk perubahan yang terjadi dalam konteks pranata sosial dapat dilihat dengan berubahnya format pranata sosial serta munculnya lembaga-lembaga baru dibidang pengelolaan informasi. Sekarang lembaga-lembaga pelayanan public atau banyak lembaga sosial lainnya mulai berubah dengan menerapkan e-government dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang informative dan akuntable. Lembaga-lembaga tersebut mulai menerapakan automasi dalam layanannya. Hal ini dilakukan sejalan dengan tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang cepat, informative dan transparan.
Selain itu melihat urgensi dari informasi bagi masyarakat pemerintah juga membentuk Departemen baru dengan nama Departemen Komunikasi dan Informasi yang bertanggung jawab terhadap manajemen komunikasi dan informasi di Tanah Air. Lembaga ini merupakan salah satu pranata sosial yang ada dimasyarakat kita.
Sedangkan perubahan pranata sosial dibidang pengelolaan informasi adalah dengan semakin meningkatnya kualitas layanan lembaga-lembaga pengelola informasi. Lembaga-lembaga tersebut antar lain perpustakaan, kantor arsip atau lembaga pengelola informasi-informasi baru. Perpustakaan dan kantor arsip mulai berbenah dengan mengaplikasikan teknologi informasi dalam layanannya. Saat ini kualitas layanan perpustakaan semakit cepat dan depat. Dalam dunia perpustakaan muncul istilah digital library, koleksi digital atau dalam bidang arsip muncul istilah arsip digital. Selain itu perpustakaan atau kantor arsip yang dulunya merupakan lembaga non profit mulai bergeser kearah lembaga semi profit ini tentu merupakan bagian dari perubahan sosial.
Selain itu muncul lembaga-lembaga informasi baru yang memfokuskan layanannya dalam bidang tertentu. Misalnya munculnya pusat informasi pariwisata, pusat informasi bisnis atau pusat informasi rumah kontrakan. Lembaga-lembaga tersebut merupakan pranata sosial yang muncul karena informasi sangat dibutuhkan oleh masyarakat bahkan dapat menjadi komoditi bisnis.
Informasi memang membawa perubahan dalam masyarakat mulai dari gaya hidup sampai pola berpikir. Perubahan ini akan terus terjadi sejalan dengan dinamika informasi dan teknologi yang terjadi.

Penutup
Dari uraian diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
Ledakan informasi dan perkembangan teknologi informasi yang terjadi mengubah pola akses dan sikap masyarakat terhadap informasi. Dalam mengakses informasi masyarakat menginginkan informasi yang dibutuhkan dapat diperolah secara cepat dan tepat layaknya makanan instant yang setiap saat dapat dikonsumsi.
Tuntutan masyarakat yang membutuhkan informasi secara cepat dan tetap memaksa berbagai institusi yang bergerak dibidang jasa layanan informasi harus berbenah. Perpustakaan, kantor arsip atau lembaga informasi mulai meningkatkan kualitas layanan dengan mengaplikasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam layanan.
Dinamika informasi yang terjadi membawa perubahan sosial dengan munculnya pranata-pranata baru dibidang informasi. Pranata tersebut antara lain munculnya Departemen Komunikasi dan Informasi
Daftar Pustaka
SOEKANTO, Soerjono. 1975. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta ; Yayasan Penerbitan Universitas Indonesia
YUSUP, Pawit. M. 2001. Pengantar Aplikasi Teori Ilmu Sosial Komunikasi untuk Perpustakaan dan Informasi. Bandung; Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran
SUNARTO, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta; Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Wahyudi Kumorotomo dan Subandono Agus Margono. 1998. Sistem Informasi Manajemen dalam Organisasi Publik. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press
Last Updated ( Thursday, 08 February 2007 )

Perpustakaan dan Demokrasi

Perpustakaan dan Demokrasi
Salah satu tesis yang paling banyak dipegang oleh pengamat perpustakaan --terutama perpustakaan umum-- adalah bahwa institusi ini hanya bisa tumbuh dalam suatu masyarakat yang demokratis। Salah satu negara yang dianggap sebagai pemrakarsa perpustakaan umum sebagai institusi demokrasi adalah Amerika Serikat.Anggapan yang barangkali terdengar sangat optimistis adalah bahwa perpustakaan umum merupakan "arsenals of a democratic culture", dikedepankan oleh Sidney H. Ditzion yang meneliti sejarah pertumbuhan perpustakaan umum di Amerika Serikat. Bersama Jessa Shera, Ditzion kemudian dikenal sebagai cendekiawan AS pertama yang "menemukan" tempat perpustakaan umum dalam pertumbuhan tradisi demokrasi. Ia mengutip pernyataan presiden AS, Franklin D. Roosevelt, yang mengatakan, "Perpustakaan secara langsung terlibat dalam konflik yang kini membelah dua dunia kita, karena dua alasan: pertama, perpustakaan merupakan hal yang esensial dalam masyarakat demokratik; kedua, karena konflik saat ini menyangkut integritas kecendekiawanan, kebebasan berpikir, dan bahkan kelangsungan sebuah kebudayaan; dan perpustakaan adalah sarana yang luar-biasa bagi kecendekiawanan, pemelihara kebudayaan, dan simbol megah dari adanya kebebasan berpikir."Menurut Ditzion salah satu unsur penting yang mendorong kelahiran "perpustakaan untuk semua orang" atau "perpustakaan-perpustakaan umum yang bebas" (free public libraries) adalah protes terbuka terhadap adanya "perpustakaan berkelas" (class libraries) yang diperuntukkan bagi sejumlah terbatas elit cendekiawan. Salah satu contohnya adalah pada suatu masa di tahun 1815-an, seorang bernama Joshua Bates mendesak masyarakatnya agar menyediakan ruang baca bagi orang awam yang sama nyamannya dengan yang disediakan untuk orang-orang terpelajar. Fasilitas seperti itu akan mempertemukan "the humblest and the highest" seperti halnya pemilihan umum mempertemukan suara mereka pada tingkatan yang sederajat.Ditzion juga mengaitkan perkembangan perpustakaan umum dengan kebangkitan kaum pekerja, dengan contoh sebuah perpustakaan yang didirikan di Pacific Mills, sebuah pabrik di kota Lawrence, Massachussets. Perpustakaan ini diperuntukkan bagi para pekerja pekerja pabrik, sehingga tidak bisa dikatakan perpustakaan umum. Tetapi Ditzion menggarisbawahi filosofi yang mendasari pendiriannya, dan menyimpulkan bahwa konsep "universitas untuk para pekerja" (the workingman's university) adalah landasan utama pendirian perpustakaan di pabrik-pabrik. Selanjutnya, ia juga menguraikan betapa kemudian muncul dermawan-dermawan yang mendukung filosofi ini secara finansial. Filosofi ini penting bagi pertumbuhan demokrasi, dan dianggap memungkinkan suatu kelompok dalam masyarakat meningkatkan diri mereka sejajar dengan kelompok-kelompok lainnya.Interpretasi progresif yang dilakukan Ditzion dan Sherra terhadap sejarah perpustakaan umum AS bukan tanpa kritik. Pada akhir era 1970-an, tiga sejarahwan lain (Dee Garrison, Michael Harris, dan Rosemary DuMont) mengkritik dua pendahulu mereka dengan mengatakan bahwa anggapan tentang perpustakaan umum sebagai lembaga demokrasi terlampau optimistis. Menurut ketiganya, sejarah kelahiran perpustakaan umum dalam era-era yang dikaji Ditzion tetap memperlihatkan suatu upaya hegemoni kultural oleh salah satu kelas dalam masyarakat terhadap kelas lainnya, selain upaya kontrol sosial oleh kelas yang waktu itu berkuasa.Tetapi baik Ditzion maupun pengkritiknya sebenarnya juga hanya memperhatikan perkembangan perpustakaan umum. di daerah-daerah perkotaan (urban) dan luput mencermati perkembangan di pedesaan (rural). Para sejarawan itu mengamati pembangunan institusi kultural di kota-kota besar, yang notabene dimotivasi oleh keinginan membangun monumen di kalangan individu-individu tertentu. Dengan kekayaan yang berlimpah dan tindakan-tindakan yang sering kontroversial, para orang kaya dermawan ini memang menjadi subjek yang amat menarik bagi para sejarawan untuk diamati. Dengan latar ini, perpustakaan-perpustakaan umum yang banyak dibangun dengan bantuan para milyuner dermawan, segera diidentifikasi sebagai institusi demokratis.Di luar institusi-institusi megah di kota besar, sebagian besar perpustakaan umum justru dibangun di desa-desa, dan ini sering luput dari pengamatan. Ketika dilakukan pengamatan terhadap kondisi di desa-desa AS pada saat pertama kali mengenal perpustakaan umum, terlihatlah bahwa di satu sisi interpretasi optimistik Ditzion harus diperlunak, tetapi di sisi lain kritik yang mengatakan bahwa perpustakaan umum semata-mata lahir karena ada kaum elit yang ingin mengendalikan massa di bawahnya, juga harus ditolak.Contoh kasusnya adalah perpustakaan umum yang didirikan pada awal tahun 1900-an di Hagerstown di Maryland, sebuah desa kecil yang sampai sekarang tetap adalah desa para petani. Fenomena di desa kecil ini, yang juga terjadi di desa-desa lainnya di AS pada waktu yang hampir sama, menggugat pernyataan bahwa hanya orang-orang dengan pemikiran tentang kontrol sosial saja yang berinisiatif mendirikan perpustakaan umum. Di Hagerstown, perpustakaan umum didirikan dengan tujuan murni untuk pendidikan rakyat banyak, sejalan dengan pernyataan Andrew Carnegie yang dipopulerkan pada saat itu, "the true university of these days is a collection of books". Carnegie adalah seorang imigran miskin dari Inggris yang menjadi milyuner AS, dan yang bersikeras bahwa kesuksesannya "naik kelas" adalah karena dia bisa membaca buku-buku di perpustakaan umum.Selain contoh sukses Carnegie, rupanya perpustakaan umum di Hagerstown juga didorong oleh kemunculan profesi pustakawan yang waktu itu oleh promotornya, Melvil Dewey, dinyatakan sebagai profesi yang harus melancarkan fungsi perpustakaan umum sebagai institusi pendidikan untuk orang banyak. Dewey menyetarakan "the free library" dengan "the free school" sebagai sebuah gerakan budaya besar-besaran di AS waktu itu, untuk membantu jutaan penduduk miskin "naik kelas" lewat peningkatan pendidikan. Gerakan ini tentu bisa dihubungkan dengan upaya negara itu untuk menciptakan sebuah masyarakat yang setiap individunya punya kesempatan mengembangkan diri lebih lanjut, dan ikut dalam proses pengambilan keputusan politik. Pendek kata, untuk demokratisasi.Dus, walaupun tidak bisa seoptimistis Ditzion dan Sherra, sejarah perpustakaan umum di AS tetap bisa ditunjuk sebagai indikator dari eratnya hubungan antara pendirian insitusi ini dengan proses demokratisasi sebuah masyarakat. Selain itu, pertumbuhan pesat perpustakaan umum di AS juga bisa dihubungkan dengan tiga fenomena lainnya, yaitu kebangkitan asosiasi para pekerja, perjuangan kelas yang menajam, dan munculnya asuransi masyarakat. Asosiasi-asosiasi yang berkesan "kelas menengah", seperti kelompok pekerja, kelompok wanita, kelompok religius dan berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya juga banyak dihubungkan dengan pendirian berbagai perpustakaan umum di AS. Kelompok-kelompok bisnis independen, dalam rangka memenuhi kepentingan bisnis yang bebas terbuka, juga mendukung pertumbuhan perpustakaan-perpustakaan umum.Nah, bagaimana dengan di Indonesia. Apakah "perpustakaan umum" kita adalah institusi demokratis? Apakah konsep dan kegiatannya mencerminkan demokratisasi, atau lebih memperlihatkan otokrasi dan kekuatan negara-intergralistik yang berlebihan? Apakah peran "kelas menengah" Indonesia cukup penting dalam pertumbuhannya?Tidak pada tempatnya membandingkan AS dan Indonesia tercinta. Tetapi apa yang terjadi di negara itu patut jadi pelajaran bagi bangsa yang sedang membangun ini.
http://kepustakawanan.blogspot.com/2006/01/perpustakaan-dan-demokrasi.html

UNESCO dan Kepustakawanan Indonesia - berhasil atau gagal?

UNESCO dan Kepustakawanan Indonesia - berhasil atau gagal?
Perang Dunia II menghancurkan banyak negara, tetapi pada saat bersamaan melahirkan negara-negara baru yang membebaskan diri dari belengu kolonialisme. Ketika perang usai, secara internasional timbul kesadaran untuk menciptakan tata dunia baru yang memungkinkan semua bangsa mengembangkan diri secara sejajar. Pendirian Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) dan badan khusus untuk masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO) merupakan cermin dari kesadaran itu. Segera saja, UNESCO menjadi salah satu saluran bagi penyebaran prinsip perpustakaan umum negara-negara Anglo-Saxon yang memenangkan PD II, terutama di Inggris dan AS.Dalam bukunya, Parker (1985) secara sangat terinci dan menarik mengungkapkan peran UNESCO dalam perkembangan perpustakaan umum di seluruh dunia. Satu hal yang segera terlihat dari paparan sejarah ini adalah kenyataan bahwa konsep perpustakaan umum yang dikembangkan oleh UNESCO sebenarnya adalah konsep Inggris dan AS, ditambah sedikit konsep dari negara-negara Skandinavia. Juga segera terlihat bahwa pada awalnya UNESCO terlalu ambisius dalam merancang perencanaan arah pengembangan perpustakaan umum yang universal. Bahkan, salah satu rencana mereka untuk mendirikan sebuah pusat koleksi dunia berkesan sangat otoriter selain juga mustahil, karena bermaksud menghimpun semua karya-karya terbaik dari berbagai negara di sebuah "perpustakaan dunia".Namun tidak dapat dipungkiri bahwa UNESCO sangat berjasa dalam membantu negara-negara yang hancur karena perang di Eropa (termasuk Itali, Belanda, dan negara-negara Eropa Timur) serta negara-negara berkembang yang baru merdeka di Asia dan Afrika (termasuk Indonesia, yang adalah salah satu negara penerima bantuan terbesar dalam bidang perpustakaan dari UNESCO). Bantuan ini terbagi terdiri dari dua bagian utama, yaitu bantuan berupa pengembangan pemikiran kepustakawanan lewat pendidikan formal maupun informal terhadap ratusan pustakawan negara berkembang, dan bantuan infrastruktur perpustakaan serta pengadaan koleksinya.Titik tolak keseriusan UNESCO dalam membantu pengembangan perpustakaan umum di seluruh dunia dapat dilihat dari dua aktivitas awalnya, yaitu proyek pengembangan perpustakaan dan pendidikan di Haiti (dikenal sebagai Marbial Valley Project di tahun 1948), dan sebuah seminar di Swedia, yaitu Malmö Seminar di tahun 1950. Kegiatan di Haiti memberikan pelajaran sangat berharga bagi UNESCO, bukan karena keberhasilannya, melainkan karena hambatan-hambatan yang muncul dari resistensi lokal dan ketidak-siapan konsultan-konsultan UNESCO berhadapan dengan kultur Haiti. Sedangkan Malmö Seminar yang dihadiri utusan dari 20 negara termasuk India, Venezuela, Argentina, Ceylon (kini Sri Lanka), Kolombia, Mesir, dan Tunisia, merupakan koreksi dari seminar sebelumnya di London, Inggris yang didominasi peserta dari Eropa. Proyek di Haiti menjadi patokan bagi proyek-proyek selanjutnya di berbagai negara. Seminar di Swedia menjadi patokan bagi kegiatan pendidikan pustakawan negara-negara berkembang, tidak saja dalam hal prinsip-prinsip perpustakaan umum tetapi juga dalam hal-hal teknis seperti pembuatan bibliografi nasional dan pengatalogan.UNESCO juga menyebarkan pola-pola perencanaan pengembangan perpustakaan umum (public library development planning) yang membawa pemikiran-pemikiran modern dari negara-negara industri ke negara-negara yang baru merdeka. Selain itu, sebagai salah satu pelajaran yang ditarik dari kegagalan proyek di Haiti, UNESCO juga menerapkan pendekatan pilot project, dimulai dari sebuah proyek di New Delhi, ibukota India di tahun 1951. Tiga tahun kemudian, pendekatan ini dipakai pula untuk membangun perpustakaan umum di Medellin, Kolombia. Kedua pilot projects ini dianggap berhasil karena menumbuhkan kebiasaan mengunjungi perpustakaan di negara-negara tersebut, walaupun kritikus mengatakan pula bahwa kedua proyek tersebut tidak dapat mewujudkan prinsip awal pelaksanaanya, yakni mengembangkan perpustakaan model lokal (bukan model Anglo-Saxon) dan tidak bergantung kepada bantuan UNESCO. Setelah berbagai proyek di berbagai negara (termasuk negara-negara sangat miskin di Afrika), pendekatan pilot project ini dihentikan. UNESCO menggantinya dengan pendekatan yang lebih menekankan pada integrasi pengembangan perpustakaan umum ke dalam pengembangan infrastruktur pendidikan dan informasi secara nasional. Dengan pendekatan baru ini, UNESCO kemudian mulai mengirimkan berbagai utusan (atau misi) ke berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk membantu pemerintah negara-negara tersebut menyusun kebijakan pengembangan perpustakaan yang lebih komprehensif dan tidak hanya berpaku pada perpustakaan umum.Dalam perkembangan selanjutnya, walaupun UNESCO mengeluarkan Manifesto Perpustakaan Umum yang menjadi dasar hukum bagi banyak peraturan perpustakaan di negara-negara dunia ketiga, lembaga PBB ini tidak lagi berkonsentrasi kepada perpustakaan umum. Bahkan konsentrasi UNESCO di bidang informasi secara keseluruhan semakin lama semakin melebar, mencakup tidak saja perpustakaan, tetapi juga dokumentasi dan kearsipan. Lalu, ketika teknologi informasi mulai menampakkan perannya, berbagai proyek tentang jaringan informasi ilmiah mendapat perhatian yang lebih besar daripada proyek perpustakaan umum. Sampai akhirnya, pada akhir era 1970-an, bantuan-bantuan UNESCO untuk perpustakaan umum menjadi sangat kecil, kalau tidak dapat dikatakan berhenti sama sekali. Prestasi terbesar UNESCO tentu saja adalah keberhasilan mengangkat isu perpustakaan umum ke tingkat internasional dan menjadikan motivasi penyediaan bacaan bagi semua orang sebagai aspirasi universal. Namun UNESCO dapat juga dikatakan tidak terlalu berhasil menumbuhkan aspirasi lokal dan boleh dikatakan gagal dalam mendorong negara-negara berkembang membangun sendiri budaya perpustakaan umum mereka yang tidak harus selalu sama dengan budaya Anglo-Saxon. Bacaan:Parker, Stephen J. (1985). UNESCO and Library Development Planning, London : the Library Association.

Kepustakawanan dan Pendidikan Pustakawan

Kepustakawanan dan Pendidikan Pustakawan
Pada suatu hari di awal Maret 2006, sekelompok pengelola pendidikan pustakawan dari 13 perguruan tinggi di Indonesia berkumpul di Jakarta untuk membicarakan masa depan mereka। Ada di dalam pikiran mereka adalah nasib keseluruhan program pendidikan di bidang ini dan nasib para lulusan yang akan mengemban gelar sarjana atau diploma bidang perpustakaan. Sulit menolak kesan, bahwa yang juga ada di pikiran mereka adalah: bagaimana menghasilkan uang dari penyelenggaraan "industri pendidikan" ini -bagaimana menyelenggarakan sekolah yang dapat membayar dosen dengan wajar dan tidak melecehkan? Secara keseluruhan, memang itulah pendidikan tinggi di jaman sekarang: lulusannya harus bermutu, dosennya harus bisa hidup layak. Tidak lebih, tidak kurang.Tetapi, apa sebenarnya persoalan yang sesungguh-sungguhnya dalam pendidikan pustakawan di Indonesia? Benarkah ini hanya persoalan "industri pendidikan" dan "pasar"?Sebagian besar dari penyelenggara pendidikan D3, S1 dan S2 yang hadir dalam pertemuan itu menginginkan kata "informasi" masuk ke dalam nama departemen, program studi, atau jurusan yang mereka kelola. Secara administratif, pengenaan kata ini sebenarnya tidaklah terlalu menimbulkan persoalan. Artinya, sebagian besar penyelenggara pendidikan tinggi mempunyai otonomi untuk menentukan apa yang ingin mereka gunakan sebagai judul sekolah atau programnya. Sebagian perguruan tinggi negeri yang sudah berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN) bahkan sudah dengan sertamerta menggunakan nama yang mereka inginkan.Bagi perguruan tinggi yang belum BHMN ada sedikit persoalan, karena mereka harus mendapatkan ijin dari pemerintah (dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional) untuk mengenakan kata "informasi", sementara pemerintah sendiri bersikeras bahwa nama yang resmi adalah "jurusan perpustakaan" (tanpa embel-embel informasi). Untuk menambahkan embel-embel itu, diperlukan kesepakatan bersama. Persoalannya, Pemerintah pun tidak dapat memastikan darimana atau bagaimana kesepakatan itu harus dicapai. Pada masa lampau, ada konsorsium yang membahas bidang-bidang ilmu. Itu pun seringkali tidak terlalu efektif. Sekarang, konsorsium tidak ada, apalagi kesepakatan tentang "ilmu perpustakaan dan informasi" -tidak ada sama sekali.Persoalan di atas membuktikan dengan sangat gamblang bahwa sebuah ilmu tidak melulu bergantung pada akademisi, tetapi terlebih-lebih pada masyarakat di mana ilmu tersebut akan diajarkan atau dikembangkan. Bagi perguruan tinggi yang sudah berbentuk badan hukum, penamaan "ilmu perpustakaan dan informasi" memerlukan pula kesepakatan, setidaknya dari masyarakat akademik (misalnya Senat Universitas). Bagi perguruan tinggi yang belum berbentuk badan hukum, kesepakatan itu harus lebih luas lagi. Bagi perguruan tinggi swasta, walaupun mereka lebih bebas, tetap diperlukan persetujuan setidaknya dari pemilik atau pemegang saham.Sulit menghilangkan kesan bahwa para penyelenggara perguruan tinggi ilmu perpustakaan (dan informasi) di Indonesia jarang meminta persetujuan atau dukungan dari profesi atau industri informasi itu sendiri. Jarang ada kegiatan atau langkah yang memungkinkan pendidikan tinggi profesi pustakawan dan informasi berdialog dengan pihak praktisi dan penyelenggara institusi perpustakaan dan informasi. Kalau pun ada dialog, sifatnya sporadis, tidak sistematis, dan temporer -seringkali tanpa kesepakatan atau keputusan praktis apa-apa.Dengan kata lain, persoalan penggunaan nama "ilmu perpustakaan dan informasi" oleh sekolah-sekolah di Indonesia terlalu disempitkan ke masalah administrasi perijinan formal. Seolah-olah dengan membereskan urusan administrasi, maka sekolah-sekolah itu sudah dapat menyelenggarakan pendidikan profesional dengan baik. Seolah-olah jika nama pendidikan tinggi sudah secara resmi menggunakan "ilmu informasi" maka tercapailah tujuan-tujuan industri pendidikan dan tergapailah keuntungan-keuntungan pasar (dalam bentuk jualan gelar, lengkap dengan iming-iming kemudahan mencari pekerjaan).Padahal, dunia pekerjaan dan "pasar" atau "industri informasi" di mana pun (termasuk di Indonesia) adalah dunia yang gegap gempita dan sangat dinamik sekaligus tidak-stabil (volatile). Sumber dinamika itu adalah pada sifat informasi dan teknologi-informasi. Kepustakawanan dan industri informasi di Indonesia tidak lepas dari sifat dasar informasi dan teknologi informasi, yaitu: mudah berubah, dan berubah dengan cepat. Dalam keadaan seperti ini, maka profesi informasi adalah profesi yang paling cair (fluid), fleksibel, dan sekaligus mudah usang. Kepustakawanan Indonesia sudah menjadi saksi sekaligus kuburan dari profesi yang begitu mudah disebut sebagai "penting" tetapi juga begitu murah dibayar dan diabaikan. Sementara itu, pada saat yang sama, muncul kebutuhan membludak terhadap profesi serupa yang diberinama baru seperti manajer pengetahuan (knowledge manager), web master, pengembang database (database developer), manajer rekod (record manager), manajer informasi (information manager), dan sebagainya, dan seterusnya.Bagaimana perguruan tinggi menjawab kesimpang-siuran dan gegap-gempita industri informasi ini? Apakah cukup dengan secara administratif mengganti nama menjadi "pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi"?Mungkin, iya! Dengan mengenakan kata "informasi" di dalam nama sekolah, dijamin akan ada banyak peminat. Tetapi apakah lulusan sekolah itu nanti benar-benar sanggup menghadapi dunia kerja yang "kejam" itu? Mungkin, tidak! Sebabnya adalah: pengenaan kata "ilmu informasi" di sebuah sekolah tanpa sungguh-sungguh memahami implikasi dari pengenaan label "ilmu" sama saja dengan memberikan sebuah cek kosong kepada para calon sarjana. Pengenaan label "ilmu" tanpa mengerti apa kaitan "ilmu" dan "dunia kerja" sama saja dengan menawarkan kucing di dalam karung. Suara "meong..."-nya mungkin keras, tetapi para calon-sarjana tidak tahu apakah kucing di dalamnya berwarna hitam atau putih atau keduanya.Seharusnya, ketika sekolah-sekolah di Indonesia bermaksud menggunakan kata "ilmu informasi" di dalam namanya, maka yang pertama dilakukan adalah memahami "ilmu perpustakaan dan informasi" itu serta kaitannya dengan dunia kerja dan industri informasi Indonesia. Ini yang harus dilakukan pertama untuk mendapatkan kesepakatan (dan dukungan) dari profesi dan industri informasi. Baru kemudian memformalkan kesepakatan ini ke kalangan yang lebih luas. Termasuk ke pemerintah, senat universitas, maupun pemilik universitas swasta.
by Putu Laxman Pendit दिएदित tarto

Bisakah Perpustakaan Umum Menjadi Ruang Publik?

Bisakah Perpustakaan Umum Menjadi Ruang Publik?

Bagi pemikir Jurgen Habermas, sebuah "ruang publik" (public sphere) secara sederhana adalah "ruang penciptaan opini non-pemerintah" (sphere of non-governmental opinion-making) - sebuah ruang abstrak maupun ruang fisik yang menjadi ajang pembentukan pendapat anggota-anggota masyarakat di luar kendali pemerintah. Secara sederhana pula, konsep "ruang publik" ini menganggap bahwa pemerintah (baik dalam bentuk pelaksana negara moderen maupun dalam wujud raja atau kaisar) bukan satu-satunya pihak yang dapat memonopoli kebenaran atau pengambilan keputusan. Secara idealnya, sebuah masyarakat memiliki hak dan kemampuan untuk berdebat, bersepakat, dan berkeputusan tentang hal-hal penting yang menyangkut diri mereka. Pemerintah lalu tinggal melaksanakan saja keputusan masyarakat tersebut.Dilihat dari namanya, kita dapat beranggapan bahwa "perpustakaan umum" adalah salah satu bentuk ideal dari ruang publik yang dimaksud Habermas di atas. Bayangkan saja, ada sebuah ruang fisik, sebuah bangunan perpustakaan lumayan megah, yang terbuka untuk umum, dan menjadi tempat bagi semua orang untuk membaca, berdiskusi, dan mengambil keputusan tentang berbagai hal. Di dalam perpustakaan umum tersedia berbagai bacaan yang dibutuhkan orang banyak dari berbagai lapisan, tanpa mengenal latarbelakang.Kenyataannya, di Indonesia Perpustakaan Umum pertama-tama adalah "lembaga pemerintah", dan sama sekali bukan tempat populer bagi anggota masyarakat untuk mendiskusikan hal-hal penting dalam hidup mereka. Terpenting lagi, Perpustakaan Umum di Indonesia sama sekali tidak berkaitan dengan "opini non-pemerintah". Sulit membayangkan pegawai-pegawai negeri yang mengelola perpustakaan umum itu memiliki visi dan misi non-pemerintah. Apalagi kemudian mereka juga tidak sepenuhnya melaksanakan fungsi-fungsi pustakawan, melainkan lebih sebagai administrator atau birokrat.Kalau memang Perpustakaan Umum di Indonesia bukan ruang publik, maka pertanyaan sederhananya adalah: ruang apakah sebenarnya ia? Mengapa kata "umum" yang melekat di nama institusi ini tidak sertamerta dapat diartikan sebagai "publik" dalam pemikiran Habermas? Coba kita letakkan perpustakaan umum Indonesia dalam konteks kebudayaan dan mari kita periksa sejarah perkembangannya. Mungkin kita dapat jawab pertanyaan ini.Kita asumsikan bahwa perpustakaan umum biar bagaimanapun mengandung pengetahuan-pengetahuan yang dapat (boleh) dimanfaatkan oleh siapa pun juga yang hendak berkunjung. Ini asumsi dasar saja, dan belum tentu benar-benar terjadi. Kebanyakan perpustakaan umum di Indonesia tidak terlalu populer untuk semua lapisan, sehingga mungkin lebih mirip institusi elit atau institusi untuk anggota kelas tertentu di masyarakat. Untuk memudahkan pembahasan, kita anggap saja perpustakaan umum mengandung pengetahuan untuk umum. Sekarang, mari kita periksa bagaimana kebudayaan Indonesia memandang pengetahuan.Menurut Kuntowijoyo (1987) Indonesia mengenal adanya dualisme dalam sistem pengetahuan masyarakatnya. la mengambil contoh masyarakat Jawa di jaman kerajaan dan memperlihatkan betapa ada dua kubu sehubungan dengan penyebaran pengetahuan dan sosialisasinya. Kubu pertama adalah istana yang menjadi produsen pengetahuan untuk masyarakat luas di luar kraton. Mesin produksi pengetahuan ini digerakkan antara lain oleh para pujangga kraton, abdi dalem dalang atau abdi dalem juru sungging, dan merupakan pengesahan kraton sebagai pusat kebudayaan. Kalau pun kemudian muncul pesantren dan perguruan, maka keduanya tidak bisa menandingi kekuasaan kraton waktu itu.Sementara itu, desa merupakan kubu lain yang juga memproduksi pengetahuan dengan cara mereka sendiri, tetapi yang harus menerima pengetahuan dari kubu pertama, atau dari dua sumber lainnya di atas. Sebagai produsen, kraton juga memproduksi buku dan bentuk-bentuk dokumentalis lainnya walaupun dengan teknologi yang sangat sederhana. Harus pula segera dicatat di sini, buku-buku dan dokumen itu juga disimpan dalam bentuk perpustakaan, misalnya Radyo Pustoko yang terkenal itu. Kubu kedua, atau desa dan masyarakat luas, tampaknya tidak punya bentuk-bentuk penyimpanan buku dan dokumen, tetapi mempunyai tradisi mengkonsumsi buku lewat lapisan literati yang ada di masyarakat desa (dilanjutkan dalam bentuk macopat di Jawa, atau mebasan di Bali). Bahwa kemudian masing-masing literati memelihara koleksi mereka, bisa jadi adalah trend yang tidak dicatat oleh sejarah.Ketika kemudian kerajaan-kerajaan mengalami kemunduran, produksi pengetahuan ikut terhenti dan hubungan "kraton-desa" terputus sudah. Sebagai pengganti kraton, muncul golongan baru dalam masyarakat yang memproduksi pengetahuan, kali ini bahkan dengan bantuan mesin-mesin cetak. Tetapi patut segera dicatat di sini bahwa pengetahuan yang diproduksi tersebut sebagian besarnya melanjutkan produksi kraton yaitu pengetahuan humaniora dan kesenian (yang oleh Alisyahbana dikelompokkan kepada aspek ekspresif). Sementara itu, di desa-desa terus berlangsung penyebaran pengetahuan dengan cara lama, karena karya-karya baru tersebut tidak sepenuhnya diterima di desa-desa. Pesantren dan perguruan juga melanjutkan tradisi mereka berhubungan dengan desa-desa lewat caranya masing-masing.
Kita bisa melihat, walau bagaimana pun selalu ada pola yang sama, yaitu: kaum elit berupaya memompakan pengetahuan ke desa-desa. Di jaman kolonial, pola ini sangat sistematis dijalankan oleh penguasa Belanda. Indonesia di jaman kolonial ikut terlanda gerakan penyebaran tulisan kaum intelektual Jawa. Kaum ini direkrut oleh apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai "usaha kapitalistik di bidang penerbitan". Tulisan mereka menyebar lewat sebuah "pasar" yang diciptakan oleh pemerintah Belanda untuk buku-buku berisi karya-karya orang Jawa. Usaha kolonial yang sebagian besar dikelola swasta ini mendapat dukungan dari para penulis yang saat itu sedang melepaskan diri dari belenggu kraton.
Penyebaran pengetahuan ala kolonial ini tidaklah merata, dan justru menimbulkan kesenjangan, sehingga muncullah fenomena cendekiawan kota, cendekiawan daerah dan cendekiawan pedesaan (Bachtiar, 1983, 73-91). Cendekiawan kota, sebagaimana digambarkan Bachtiar, adalah produk dari berlanjutnya pendidikan kolonial Belanda (misalnya yang dimulai dengan School tot Opieideng van Indische Artsen, STOVIA, di Batavia). Mereka tinggal di kota-kota besar Indonesia dan memiliki komposisi yang agak rumit karena datang dari berbagai daerah dengan latarbelakang berbeda. Cendekiawan daerah muncul dalam bentuk penggerak pusat-pusat kebudayaan daerah, yang terutama mengkaji masalah-masalah kedaerahan. Mereka tidak selamanya "berpendidikan" dalam pengertian lulus dari sekolah tertentu, tetapi lebih merupakan para pemerhati yang didorong oleh rasa-rasa kedaerahan. Demikian pula kelompok cendekiawan pedesaan, yakni para "pemimpin-pemimpin tradisional" yang seringkali juga adalah pemimpin-pemimpin informal tetapi punya kapasitas sebagai pemimpin pendapat (opinion leader).
Dalam kondisi budaya seperti di atas lah perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia coba ditumbuh-kembangkan. Persoalan yang dihadapi oleh dunia ilmu pengetahuan, pendidikan dan cendekiawan sebagaimana diuraikan di atas ikut mewarnai usaha pengembangan itu. Kita kini misalnya bisa melihat betapa perpustakaan di Indonesia seperti terletak di antara dua sisi yang saling berlawanan. Pada sisi yang satu terdapat elite yang merasa diri mereka adalah pelaku dan pembawa modernisasi, sedangkan pada sisi lain terdapat lapisan masyarakat dengan kebudayaan tradisionalnya. Celakanya, kedua sisi ini tampaknya tidak mempunyai acuan nilai yang jelas untuk pranata semacam perpustakaan. Para elite dan cendekiawan barangkali memerlukan sekali perpustakaan, tetapi mereka seperti tidak punya cukup kekuatan, dan barangkali juga kemauan, untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan untuk landasan kepustakawanan di Indonesia.
Melihat kelahirannya, terutama kelahiran sistem perpustakaan umum, Indonesia pada awal kemerdekaan tampaknya tidak punya pilihan lain selain memakai pendekatan rekayasa sosial yang dipelopori pemerintah, karena pada saat merdeka hanya elite pemerintahlah yang cukup terdidik dan berpikiran modern. Apalagi tentunya waktu itu hanya pemerintahlah yang punya dana. Tidak pernah ada bukti bahwa hasrat mengembangkan perpustakaan datang dari "publik" pada umumnya. Apalagi, tidak ada bukti bahwa perpustakaan umum merupakan "ruang publik" yang dapat mencermati dan mengritik kerja pemerintah. Sebaliknya, terdapat banyak bukti bahwa rekayasa sosial untuk memperkenalkan perpustakaan di Indonesia memakai model rekayasa modernisasi model kolonial.
Perpustakaan umum tidak hanya merupakan intervensi pemerintah dalam pembangunan fisik gedung perpustakaan (yang memang tidak bisa dilakukan pihak lain), tetapi juga berkembang menjadi intervensi dalam segala pola pengembangan perpustakaan। Pada awalnya, intervensi ini tampaknya dijustifikasi oleh maksud pemerintah untuk mengangkat tingkat meiek huruf dari hanya sekitar 10% di awal kemerdekaan menjadi sekitar 50% di awal tahun 60-an। Namun pada perkembangannya kemudian, intervensi ini mirip intervensi yang dilakukan pada umumnya di bidang pendidikan, yakni pemberian pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi daerah dengan tujuan-tujuan keseragaman nasional। Dari gambaran-gambaran di atas, sulitlah lari dari kesimpulan bahwa perpustakaan umum di Indonesia sebenarnya adalah lembaga elit yang mencoba memompakan "pengetahuan yang sah" dari kaum elit ke rakyat jelata। Sekarang ini, pola yang sama muncul dalam bentuk semangat "mengembangkan minat baca" dan juga dalam bentuk aktivitas kaum elit (baik yang berduit maupun yang tidak) untuk membuat taman-taman bacaan "demi meningkatkan kehidupan orang banyak".bacaan:Bachtiar, Harsja W. (1983), "Kaum cendekiawan di Indonesia : suatu sketsa sosiologi" dalam Cendekiawan dan Politik, Aswab Mahasin dan Ismed Natsir (ed.), Jakarta : LP3ES.Kuntowijoyo (1987), Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta : Tiara Wacana.

posted