Rabu, 16 Januari 2008

Akuntabilitas Sebuah Perpustakaan : Menuju Perpustakaan dengan Manajemen Modern

Akuntabilitas Sebuah Perpustakaan : Menuju Perpustakaan dengan Manajemen Modern

@ 01:18 AM (20 hours, 58 minutes ago)

Oleh :

Oky Widyanarko

ABSTRAK

Akuntabilitas dipandang penting dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Proses Akuntabilitas sudah lama dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dan lembaga birokrat di pemerintahan dengan tujuan untuk dapat memastikan apakah perusahaan atau lembaga itu telah berhasil mencapai tujuan seperti yang direncanakan dalam strategi manajemennya . Ada tiga factor penting dalam penilaian sebuah organisasi atau lembaga dalam kaitannya dengan akuntabilitas yaitu verifikasi penggunaan sumber daya yang tersedia, pencapaian target dan penilaian output yang dihasilkan.


Perpustakaan yang selama ini dianggap sebagai organisasi nirlaba kedepannya juga diharapkan mengikuti trend saat ini sebagai organisasi modern yang mempunyai tujuan dan strategi dalam pengembangannya. Diperlukan manajemen atau pengelolaan yang modern seperti perlunya perencanaan strategi, positioning perpustakaan, pengembngan produk dan strategi marketingnya , pengembangan SDM yang berkualitas sampai dengan masalah evaluasi atau akuntabilitas terhadap organisasi. Sebenarnya untuk organisasi seperti perpustakaan tidak boleh meremehkan apa arti akuntabilitas sebuah organisasi karena di dunia saat ini perusahaan hebat sekelas Boeing dan Microsoft pun tidak melupakan peran akuntabilitas organisasi yang hasilnya nanti dapat digunakan dalam penentuan strategi kebijakan perusahaan kedepan.

KONSEP DAN ARTI AKUNTABILITAS

Dalam definisi tradisional, Akuntabilitas adalah istilah umum untuk menjelaskan betapa sejumlah organisasi telah memperlihatkan bahwa mereka sudah memenuhi misi yang mereka emban ( BENVENISTE, Guy, : 1991). Definisi lain menyebutkan akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat ( ARIFIYADI, Teguh,: 2008 ).


Konsep tentang Akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa inggris biasa disebut dengan accoutability yang diartikan sebagai “yang dapat dipertanggungjawabkan”. Atau dalam kata sifat disebut sebagai accountable. Lalu apa bedanya dengan responsibility yang juga diartikan sebagai “tanggung jawab”. Pengertian accountability dan responsibility seringkali diartikan sama. Padahal maknanya jelas sangat berbeda. Beberapa ahli menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan birokrasi, responsibility merupakan otoritas yang diberikan atasan untuk melaksanakan suatu kebijakan. Sedangkan accountability merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas yang diperolehnya tersebut.

Berkaitan dengan istilah akuntabilitas, Sirajudin H Saleh dan Aslam Iqbal berpendapat bahwa akuntabilitas merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi akuntabilitas internal dan eksternal seseorang. Dari sisi internal seseorang akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang tersebut kepada Tuhan-nya. Sedangkan akuntabilitas eksternal seseorang adalah akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan masyarakat.

Deklarasi Tokyo mengenai petunjuk akuntabilitas publik menetapkan pengertian akuntabilitas yakni kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajeria dan program. Ini berarti bahwa akuntabilitas berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi (penilaian) mengenai standard pelaksanaan kegiatan, apakah standar yang dibuat sudah tepat dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan apabila dirasa sudah tepat, manajemen memiliki tanggung jawab untuk mengimlementasikan standard-standard tersebut. Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik. Dalam hubungan ini, diperlukan evaluasi kinerja yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara yang digunakan untuk mencapai semua itu. Pengendalian (control) sebagai bagian penting dalam manajemen yang baik adalah hal yang saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain pengendalian tidak dapat berjalan efisien dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik demikian juga sebaliknya.

Media akuntabilitas yang memadai dapat berbentuk laporan yang dapat mengekspresikan pencapaian tujuan melalui pengelolaan sumber daya suatu organisasi, karena pencapaian tujuan merupakan salah satu ukuran kinerja individu maupun unit organisasi. Tujuan tersebut dapat dilihat dalam rencana stratejik organisasi, rencana kinerja, dan program kerja tahunan, dengan tetap berpegangan pada Rencana Jangka Panjang dan Menengah (RJPM) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Media akuntabilitas lain yang cukup efektif dapat berupa laporan tahunan tentang pencapaian tugas pokok dan fungsi dan target-target serta aspek penunjangnya seperti aspek keuangan, aspek sarana dan prasarana, aspek sumber daya manusia dan lain-lain

PERPUSTAKAAN YANG "ACCOUNTABLE"

Dalam definisi seperti yang telah dikemukakan di atas tuntutan terhadap perpustakaan sebagai organisasi publik tentunya tidak hanya sekedar menjadi “Responsibility Library” tetapi juga sekaligus “Accountable Library” atau perpustakaan yang bertanggungjawab kepada publiknya . Publik disini dapat diartikan sebagai pemakai (user), karyawan (pustakawan dan pekerja perpustakaan), pemilik perpustakaan (pemerintah, Yayasan, LSM dsb ) dan lingkungan dalam segala aspek yang berkaitan dengan operasional perpustakaan. Sehingga di masa dating perpustakaan dapat menjadi organisasi atau institusi yang mempunyai tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR) atau penulis mempunyai gagasan baru dapat menjadi Library Social Responsibilty atau LSR dimana tolak ukurnya adalah dimilikinya identitas sebagai accountable library tadi. Dalam kaitannya dengan akuntabilitas terhadap perpustakaan saat ini mungkin perpustakaan nasional dan perpustakaan daerah dapat dijadikan contoh. Regulasi dari pemerintah berupa Peraturan Inpres RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dapat menjadi pedoman perpustakaan-perpustakaan birokratis atau milik negara sebagai acuan atau tolak ukur sebuah “library accountable” . Meskipun secara umum di dunia kepustakawanan belum dikenal standar akuntabilitas khusus bagi pengelolaan perpustakaan namun beberapa perpustakaan di luar negeri banyak mengadopsi ukuran-ukuran akuntabilitas seperti AA1000, Global Reporting Initiative, Verite, SA800,iSO14000 dan iSO9001. ISO 9001 lebih dikenal di Indonesia sebagai standar mutu internasional pengelolaan organisasi. Penerapan ISO di organisasi berguna untuk :

· Meningkatkan citra organisasi

· Meningkatkan kinerja lingkungan organisasi

· Meningkatkan efisiensi kegiatan

· Memperbaiki manajemen organisasi dengan menerapkan perencanaan, pelaksanaan, pengukuran dan tindakan perbaikan (plan, do, check, act)

· Meningkatkan penataan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal pengelolaan lingkungan

· Mengurangi resiko usaha

· Meningkatkan daya saing

· Meningkatkan komunikasi internal dan hubungan baik dengan berbagai pihak yang berkepentingan

· Mendapat kepercayaan dari konsumen/mitra kerja/pemodal

INDIKATOR AKUNTABILITAS PERPUSTAKAAN

Menurut Guy Benveniste dalam bukunya yang berjudul Birokrasi ada 3 jenis intervensi akuntabilitas dalam sebuah organisasi yang dapat dipakai oleh sebuah perpustakaan

1. Pertama, berkaitan dengan verifikasi penggunaan sumber-sumber organisasi. Sumber-sumber organisasi seperti halnya perpustakaan dapat berupa modal atau anggaran, sumber daya manusia ( pustakawan dan pekerja perpustakaan ), sarana dan prasarana yang meliputi gedung perpustakaan dan fasilitasnya. Pembuatan laporan keuangan secara rutin yang telah diaudit dengan standar akuntansi yang diakui pemerintah atau internasional oleh pihak yang capable. Indikator lainnya tentu dari hasil assesment atau penilaian oleh Badan akreditasi yang diakui pemerintah misalnya Badan Akreditasi Nasional (BAN) Departemen Pendidikan Nasional. Untuk itu perpustakaan selalu dituntut untuk menyiapkan laporan tahunan yang tentunya selalu up to date

2. Mengacu pada target, program, implementasi dan evaluasi output tertentu yang diharapkan. Hal ini tentu berkaitan dengan strategi manajemen sebuah perpustakaan sehingga perencanaan program kerja, pengorganisasian atau konsolidasi, implementasi dan kontrol terhadap pelaksanaan program akan dievaluasi pada tahap akhirnya apakah sesuai dengan rencana atau tujuan yang diharapkan. Sebagai contoh sebuah perpustakaan daerah meluncurkan produk perpustakaan keliling yang diharapkan tujuannya untuk membina minat baca anak-anak sekolah atau anak-anak di daerah pelosok. Tapi kenyataannya segmen yang dituju kurang tepat misalnya mahasiswa dan hanya terbatas di kota besar saja. Tentu saja hal tersebut telah menyimpang sehingga berpengaruh terhadap penilaian sebuah perpustakaan yang accountable tadi.

3. Mengacu pada evaluasi eksternal terhadap output sebuah produk yang dihasilkan perpustakaan. Sebagai contoh apakah produk katalog online perpustakaan (OPAC) akan bernilai tinggi dimana keterbatasan akan sarana telekomunikasi sangat tinggi. Tentu produk tersebut tidak tepat dan bernilai rendah. Ketidakmampuan perpustakaan melihat kondisi pasar dalam hal ini user akan sangat berpengaruh. Tidak adanya fasilitas komputer dan sarana telekomunikasi akan membuat user atau pemakai memilih kembali pada katalog manual misalnya. Penilaian produk yang dihasilkan dari hasil program awal sebuah perpustakaan dapat dinilai dari respon pengguna perpustakaan. Jika pasar atau user sebuah perpustakaan antusias menerimanya hal ini dapat menjadi point tinggi bagi perpustakaan yang accountable tadi.

PENUTUP

Akuntabilitas sebuah perpustakaan dalam era kompetisi saat ini sangat berpengaruh pada positioning perpustakaan, Jika indikator akuntabilitasnya baik maka pasar atau user akan merespon positif dan membuat posisi perpustakaan sebagai penyedia jasa yang capable atau dapat dipercaya sekaligus predictable atau dapat diperkirakan mutunya akan tetap kuat posisinya di pasar penyedia jasa informasi. Sebaliknya jika pasar atau pengguna merespon negatif maka perpustakaan harus segera berbenah diri dengan melakukan evaluasi terhadap indikator-indikator dari akuntabilitas sebuah perpustakan yang bertanggungjawab kepada publiknya.

DAFTAR PUSTAKA

· ARIFIYADI, Teguh, Konsep tentang Akuntabilitas dan Implementasinya di Indonesia, http://www.depkominfo.go.id/portal/?act=detail&mod=artikel_itjen&view=1&id=BRT070511110601, akses 12 Januari 2008

· BENVENISTE, Guy, Birokrasi, Jakarta : Rajawali, 1991

· INDONESIA, Inpres RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, 1999

· ISO, http://id.wikipedia.org/wiki/iso/, akses 16 Januari 2008

· ISO 9001, http://id.wikipedia.ord/wiki/iso-9001, akses 16 Januari 2008

· SALEH, Sirajudin H & Aslam Iqbal, “Accountability”, Chapter I in a Book “Accountability The Endless Prophecy” edited by Sirajudin H Saleh and Aslam Iqbal, Asian and Pacific Develompent Centre, 1995.

· SALIM, Peter dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Edisi pertama, Jakarta : Modern English Press, 1991

· Tanggung Jawab Sosial Perusahaan,

http://id.wikipedia.org/wiki/Tanggung_jawab_sosial_perusahaan, akses tanggal

12 Januari 2008

· TROUT, Jack, Yang Terbaru tentang Strategi Bisnis Nomor Satu Dunia, Jakarta ; Gramedia Pustaka Utama, 1997

http://oky.bloghi.com/2008/01/16/akuntabilitas-sebuah-perpustakaan-menuju-perpustakaan-dengan-manajemen-modern.html

Positioning" Dalam Pemasaran Layanan Perpustakaan

"Positioning" Dalam Pemasaran Layanan Perpustakaan

@ 02:45 AM (1 day, 17 hours ago)

Oleh :

Oky Widyanarko


ABSTRAK

Positioning merupakan salah satu strategi pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan modern saat ini. Perpustakaan yang awalnya mempunyai konsep sebagai institusi nirlaba mulai mengadopsi strategi ini untuk berkembang menjadi perpustakaan modern yang inovatif dan berusaha kreatif menjual produk jasanya. Positioning sendiri tidak terlepas dari hal-hal yang bersifat regulasi, Membangun citra atau brand image pasar dan melakukan repositioning dan strategi diferensiasi jika dikemudain hari produk mereka masuk ke dalam hukum “product Life Cycle”

Strategi pemasaran sangat penting dalam menentukan perjalanan ke depan sebuah perusahaan agar tetap eksis dalam kancah persaingan usaha. Strategi pemasaran modern yang dikembangkan Hermawan Kartajaya dengan konsep sembilan elemen pemasarannya atau milik Michael Porter dengan model “ The Five Forces” banyak diadopsi dan diadaptasikan di banyak perusahaan kelas dunia, misalnya Intel, Lux, Amazon dan The Body Shop. Salah satu unsur terpenting dari strategi pemasaran itu adalah “positioning”. Apakan strategi positioning juga dapat diadaptasikan kepada perusahaan jasa. Jawabannya adalah pasti dapat,termasuk di dalamnya sebuah institusi perpustakaan yang dulu selalu dikenal sebagai organisasi nirlaba. Perpustakaan modern saat ini tentu telah banyak merubah strategi organisasinya agar tetap eksis dalam kompetisi dengan melakukan “reposition” visi dan misi organisasi termasuk menjual produk layanan informasi kepada segmen pasar yang telah mereka tentukan sendiri di masa awal ketika berdiri. Perpustakaan Perguruan tinggi mempunyai segmen pasar yaitu kelompok mahasiswa dan pengajar, perpustakaan umum atau daerah mempunyai segmen pasar masyarakat umum demikian pula dengan perpustakaan khusus yang menjual produk jasanya kepada kalangan tertentu atau khusus.

“POSITIONING” APA DAN BAGAIMANA

Dalam definisi tradisional, Positioning sering disebut sebagai strategi untuk memenangi dan menguasai benak pelanggan melalui produk yang kita tawarkan (Kartajaya, Hermawan : 2004 :11). Hermawan Kartajaya dalam bukunya “ Hermawan Kartajaya on Positioning mempunyai definisi sendiri. Positioning didefinisikan sebagai the strategy to lead your customer credible, yaitu upaya mengarahkan pelanggan anda secara kredibel atau dengan kata lain upaya untuk membangun dan mendapatkan kepercayaan pelanggan. Semakin kredibel anda di mata pelanggan, semakin kukuh pula positioning anda.

PERAN REGULASI DALAM MENENTUKAN “POSITIONING” PERPUSTAKAAN

Peran Regulasi dapat menentukan positioning sebuah perpustakaan, sebagai contoh dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Wajib Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, maka Perpustakaan Nasional dan jaringan dibawahnya merupakan satu-satunya organisasi yang mempunyai otoritas dalam pengumpulan koleksi-koleksi karya cetak dan karya rekam dari seluruh penerbit di Indonesia. Positioning perpustakaan Nasional sangat kuat tentunya dengan brand image perpustakaan terlengkap koleksinya di Indonesia, sehingga pemustaka/pengguna perpustakaan otomastis akan tergantung kepada perpustakaan Nasional. Contoh lain adalah Perpustakaan Umum DKI dengan SK Gubernur No. 499 tahun 1996. Positioning Perpusda DKI akan semakin kuat karena dengan regulasi tersebut masing-masing unit atau satuan kerja di lingkungan Pemprov DKI wajib memberikan sembilan karya cetak untuk dikoleksi Perpusda DKI. Perpusda DKI akan mempunyai brand image di masyarakat sebagai perpustakaan dengan koleksi lokal DKI Jakarta terlengkap di Indonesia tentunya. Pada beberapa Perpustakaan Perguruan Tinggi, Statuta Universitas merupakan senjata ampuh untuk memposisikan Perpustakaan sebagai “ Center of Learning”.

MOTTO PERPUSTAKAAN DAN POSITIONING

Motto dapat dijadikan sebagai alat atau senjata untuk mengarahkan masyarakat agar mengetahui Positioning sebuah perusahaan dalam menjual produk barang atau jasanya. Sebagai contoh Coca Cola yang memposisikan dirinya sebagai “ The Real Thing” alias Cola yang Orisinil dan Klasik. Dengan semboyan atau motto tersebut Coca Cola berusaha mengarahkan atau memberi citra kepada masyarakat bahwa selain Coca Cola minuman Cola lainnya adalah pasti palsu. Sebaliknya sebagai tandingan atau competitor, Pepsi berusaha membangun citra dirinya dengan sebutan “ Generation Next” dan menganggap Coca Cola sebagai terlalu tua. Jika diibaratkan sebagai perusahaan yang menjual jasa maka perpustakaan dalam menentukan posisinya dapat memberikan semboyan atau motto yang mudah dikenal oleh masyarakat sehingga brand image terhadap produk dan perpustakaan sebagai produsennya akan diingat selalu oleh pengguna perpustakaan. Di beberapa perpustakaan Amerika Serikat telah banyak yang mengadopsi positioning ini, diantaranya Biomedical Library University of California dengan “"Connect, reflect, research, discover" , Royal Hospital Central library dengan motto “Quality has to be Seen to be Believed, Perpustakaan Universitas Minnesota di AS yang dikenal sebagai “ Human Right Of Library”. Di Indonesia ada beberapa perpustakaan yang telah mengembangkan strategi positioning ini seperti perpustakaan Petra Surabaya dengan konsep “Perpustakaan Tanpa Dinding (Library Without Walls)” ketika memulai terbentuknya jaringan PetraNet dengan menyediakan layanan akses internet bagi penggunanya dan mulai mengembangkan layanan online pada tahun 1996, Perpustakaan Universitas Surabaya dengan “One Stop Information Service Provider”, Moto “melayani dengan cinta” milik perpustakaan ITS.

BRAND IMAGE DALAM PEMASARAN LAYANAN PERPUSTAKAAN

Menentukan “ Brand Image” yang akan dijual oleh perpustakaan sangatlah penting. Beberapa marketer dalam dunia marketing membedakan aspek psikologi merk dengan aspek pengalaman. Aspek pengalaman merupakan gabungan seluruh point pengalaman berinteraksi dengan merk, atau sering disebut brand experience. Aspek psikologis, sering direferensikan sebagai brand image, adalah citra yang dibangun dalam alam bawah sadar konsumen melalui informasi dan ekspektasi yang diharapkan melalui produk atau jasa. Pendekatan yang menyeluruh dalam membangun merk meliputi struktur merk, bisnis dan manusia yang terlibat dalam produk. Sebagai Contoh Perpustakaan Umum DKI Jakarta tentu mempunyai produk local content mengenai Jakarta baik buku tentang sejarah Jakarta, Peraturan daerah, statistik kota Jakarta dan sebagainya, sehingga produk atau koleksi yang dimiliki oleh perpusda DKI Jakarta dapat dijadikan brand image bagi perpustakaan tersebut. Dengan brand image tersebut, Perpusda DKI Jakarta mencoba membangun citra dan mengarahkan masyarakat sehingga mereka para pemustaka atau pengguna perpustakaan mengerti bahwa hanya Perpusda DKI Jakarta sajalah yang memiliki koleksi terlengkap mengenai seluk beluk kota Jakarta. Strategi tersebut juga dikembangkan oleh beberapa perpustakaan daerah di era 80-an dengan produk layanan terkenalnya mobil perpustakaan keliling, PDII-LIPI dengan produk kemasan informasi digitalnya, Perpustakaan Khusus lainnya seperti Perpustakaan Bung Hatta, Japan Foundation ,British Council, Produk Spectra dari Perpustakaan Petra, KCM dari Kompas, Sampoerna Corner milik perpustakaan ITS, Amcor milik perpustakaan Universitas Airlangga Surabaya.

INOVATIF DAN KREATIF

Agar positioning tetap kuat maka perpustakaan yang diibaratkan sebagai perusahaan jasa yang menyediakan informasi harus tetap inovatif dan kreatif dalam membangun brand image kepada pengguna perpustakaan. Positioning akan berubah jika nantinya ada kompetitor yang lebih baik dalam menawarkan jasa dan berhasil membangun brand image yang ditawarkan. Tapi hukum alam marketing tentunta akan terus berjalan yaitu product life cycle dimana produk yang telah menjadi unggulan dan merupakan the best brand image bagi perpustakaan akan ada masa surutnya, maka kebijaksanaan internal Perpustakaan harus segera melakukan repositioning dengan melakukan diferensiasi produk jasa. Pustakawan dan SDM Perpustakaan yang inovatif dan kreatiflah sebagai kunci, maka benar kata Jact Trout seorang pakar marketing yaitu Diferentiatie or Die , berbeda atau mati.

PENUTUP

Dalam menentukan positioning, sebuah perusahaan tidak terlepas dari hal-hal yang menguntungkan maupun merugikan bagi dirinya. Regulasi adalah salah satu penyebabnya. Ketika zaman orde baru sebelum diberlakukannya UU anti Monopoli maka posisi perusahaan sekelas Telkom dan Pertamina sangant kuat. Tanpa harus bermarketingpun mereka akan tetap dapat memeras pundi-pundi emas. Sebaliknya ketika diberlakukan UU anti monopoli maka perusahaan-perusahaan tersebut segera melakukan repositioning dan differensiasi. Perpustakaan bisa mengambil pelajaran dari strategi marketing modern. Regulasi dalam menetukan keberadaan perpustakaan dapat menjadi modal awal untuk menentukan segmen pasar yang dituju dan menentukan brand image kepada calon user atau pengguna sebelum produk jasa yang akan ditawarkan di pasarkan. Perpustakaan jangan terlalu takut mengambil resiko dengan berpikir apakah produk yang ditawarkan akan laku atau tidak karena yang menilai sebuah produk adalah user atau pengguna dengan berbagai persepsi yang berkembang di masyarakat. Perpustakaan tentunya hanya berusaha melakukan positioning agar brand imagenya tetap kuat di mata user atau pengguna perpustakaan

DAFTAR PUSTAKA

* Biomedical Library, Dramatically Renovated, Plans Colorful Dedication, http://www.universityofcalifornia.edu/news/article/8471, akses 24 Nopember 2007

* Central Medical Library Royal Hospital, http://www.rhcml.com/about.asp, diakses 24 Nopember 2007

* Dengan Diberlakukannya Otonomi Daerah, UU No. 4/1990 tentang Wajib Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam Perlu Direvisi, http://www.pnri.go.id/official_v2005.5/activities/news/index.asp?box=detail&id=200671215117&from_box=list&page=15&search_keyword=, akses tanggal 23 Nopember 2007

* Djatin, Jusni dan Sri Hartinah, PENGEMASAN DAN PEMASARAN INFORMASI : PENGALAMAN PDII-LIPI, www.consal.org.sg/webupload/forums/attachments/2277.doc, akses 29 Nopember 2007

* KARTAJAYA, Hermawan, Hermawan Kertajaya On Positioning, Bandung : Mizan, 2006

* KOTLER, Philip, Manajemen Pemasaran : Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan Kontrol, 9th.ed. Vol.1, Jakarta : Prehallindo, 1997

* KOTLER, Philip, Manajemen Pemasaran : Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan Kontrol, 9th.ed. Vol.2, Jakarta : Prehallindo, 1997

* ·Perpustakaan ITS: Melayani DenganCinta,http://ww.its.ac.id/berita.php?nomer=2715, akses 29 Nopember 2007

* RUHIMAT,Perpustakaan Perlu Wajah Baru, http://www.jplh.or.id/elnv4/topik/artikel/perpustakaan_perlu_wajah_baru.html, akses tanggal 23 Nopember 2007

* TROUT, Jack, Big Brands Big Trouble : Pelajaran Berharga dari Merk-Merk Ternama, Jakarta : Elangga, 2002

* TROUT, Jack, Yang Terbaru tentang Strategi Bisnis Nomor Satu Dunia, Jakarta ; Gramedia Pustaka Utama, 1997

PROFESIONALISME PUSTAKAWAN DI ERA GLOBAL

PROFESIONALISME PUSTAKAWAN DI ERA GLOBAL

Oleh :

Achmad ¯

PENDAHULUAN

Di era global saat ini dimana informasi membludak, profesi pustakawan terus menjadi sorotan. Memang…diharapkan profesi ini mampu mengelola banjir informasi yang berdampak luas pada masyarakat. Sebelum membicarakan era global-era Internet, dan ketrampilan pustakawan untuk menghadapinya, maka penulis sedikit menyinggung tentang persyaratan profesi. Menurut Abraham Flexner yang dikutip Wirawan (1993) profesi paling tidak harus memenuhi 5 persyaratan sbb : (1) profesi itu merupakan pekerjaan intelektual, maksudnya menggunakan intelegensia yang bebas yang diterapkan pada problem dengan tujuan untuk memahaminya dan menguasainya; (2) Profesi merupakan pekerjaan saintifik berdasarkan pengetahuan yang berasal dari sains; (3) Profesi merupakan pekerjaan praktikal, artinya bukan melulu teori akademik tetapi dapat diterapkan dan dipraktekkan; (4) Profesi terorganisasi secara sistematis. Ada standar cara melaksanakannya dan mempunyai tolok ukur hasilnya; (5) Profesi-profesi merupakan pekerjaan altruisme yang berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya bukan kepada diri profesionalisme. Sedangkan profesionalisme menunjukkan ide, aliran, isme yang bertujuan mengembangkan profesi, agar profesi dilaksanakan oleh profesional dengan mengacu kepada norma-norma, standar dan kode etik serta memberikan layanan terbaik kepada klien.

Dari uraian di atas jelas, bahwa pustakawan adalah sebuah profesi. Dan bagaimana dengan tantangan ke depan? Dari sinilah penulis berangkat menuangkan pemikiran agar dapat memberi masukan, serum, dorongan, semangat agar profesi pustakawan dapat lebih bermanfaat dan menggigit kepada masyarakat secara luas utamanya di era global yang sarat tantangan saat ini.

ERA GLOBAL-ERA INTERNET

Era global telah merambah dan melanda semua orang tidak terkecuali pustakawan. Era global membuka mata hati bahwa didalam kehidupan ini kita perlu orang lain dimanapun tanpa mengenal batas. Perkembangan teknologi komunikasi dan telekomunikasi seperti Internet dapat mengubah banyak orang menjadi kosmopolitan. Picasso yang dikutip Muis (2001) mengatakan bahwa dunia telah menjadi kosmopolitan dan kita saling mempengaruhi satu sama lain.

Internet dengan muatan-muatan bisnis, pendidikan dsb, telah mampu mempengaruhi pola pikir kita semua. Ia telah mengubah kehidupan secara drastis. Ia telah mereformasi sejumlah praktek-praktek bisnis kuno. Amazon.com misalnya telah mengubah wajah industri eceran dan distribusi menjadi sedemikian revolusioner. Film Blair Watch Project menggunakan Internet sebagai media yang kreatif dan murah untuk mempromosikan film mereka. Hanya dengan bermodalkan $15.000, situs Blair Witch Project berdiri. Tak kurang dari 75 juta orang telah mengunjungi situs itu. Dan ketika diputar, film ini menghasilkan rekor penjualan tiket tak kurang dari 100 juta dolar (Kurnia, ….). Sungguh tidak terbayangkan hanya dengan memasukkan nomer credit card pada “secure server” sebuah bisnis maya barang yang diinginkan datang pada saatnya. Jadi tidak perlu lagi montang – manting ke Bank untuk membeli bank draft dan mengirimkannya. Praktis, hemat waktu, uang dan tenaga. Bukan main.

Internet sudah menjadi suatu media pilihan untuk mendapatkan informasi aktual dan faktual. Walaupun Internet bukanlah panacea, satu-satunya pilihan, namun sudah menjadi harapan utama untuk mendapatkan informasi aktual.

Tantangan ini akan semakin ramai dan kompetitif tajam dengan realisasi AFTA 2003 (Asean Free Frade Area) – perdagangan bebas antara negara Asean. Perdagangan bebas ini berarti akan terjadi antara lain :

1. Banjirnya tenaga Malaysia dsb di Indonesia, terutama untuk pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan bahasa Inggris dan ketrampilam khusus.

2. Pada lingkungan pekerjaan bahasa Inggris akan lebih dominan dibanding bahasa Indonesia.

3. Lapangan pekerjaan akan melimpah ruah bagi orang-orang yang memiliki kualifikasi dan kemampuan kerja tinggi, mampu berkomunikasi secara internasional dan mempunyai wawasan luas.

4. Kematian bagi orang-orang yang buta komputer atau buta bahasa Inggris. Kematian dalam arti tidak bisa berkembang. Pada saat itu buta komputer hampir identik dengan buta huruf (Mahayana, 1995).

Penggunaan Internet untuk pendidikan cukup menonjol dan cukup ampuh dalam upaya memperkini ilmu pengetahuan pada pemakainya. Pemanfaatan Internet untuk pendidikan misalnya :

1. Perpustakaan Online

2. Buku online & jurnal online

3. Pembelajaran jarak jauh (distance learning)

4. Pendaftaran kuliah online

5. Kuliah & tugas kuliah

6. dsb

Keampuhan Internet di Era global sebagai media pengaruh cukup signifikan terhadap budaya tradisional. Internet mampu menggeser budaya hidup masyarakat, misalnya : … masyarakat menjadi semakin longgar (permisif) terhadap perilaku yang untuk beberapa tahun yang lalu kurang enak dipandang kini menjadi biasa. … perilaku remaja (dan juga orang tua) yang begitu longgar terhadap pergaulan yang menjurus kepada penyimpangan norma agama (Suyono, 1999). Disamping itu era global menurut Abidin (1999) mampu :

1. Mengubah pola hidup, seperti :

a) dari agraris tradisional menjadi masyarakat industri modern

b) dari lamban ke serba cepat

c) dari berasas nilai sosial menjadi konsumeris materialistis

d) dari tata kehidupan tergantung dari alam kepada menguasai alam

2. Membawa perubahan perilaku, terutama pada generasi muda (para remaja), seperti :

a) …pergaulan a-susila di kalangan pelajar dan mahasiswa. Pornografi yang susah dibendung (Masih ingat…….. Itenas 2001)

b) kecanduan terhadap ecstasy

Perkawinan tradisional yang dulu cukup dengan jodoh satu kampung, di era global dengan bantuan Internet perkawinan dapat meretas batas bukan saja desa tapi negara. Seperti akan kawinnya Sanad Biber dari Bosnia dan Tri RK gadis dari Kediri (Sadaruwan, 2001). Memang jodoh di tangan Tuhan, tapi usaha manusia tetap dibutuhkan. Perkawinan lintas negara (kesejagadan) berawal dari pemanfaatan Internet dengan fasilitas chatting dan e-mail. Sekarang telah berkembang dengan situs-situs yang menarik hati.

BAGAIMANA PUSTAKAWAN?

Menghadapi riuh rendah dan carut-marutnya kehidupan yang terus berpacu dengan perkembangan teknologi di era global, maka pustakawan harus menghadapi kenyataan tersebut. Supaya berhasil mengatasinya, pustakawan sebagai profesi harus memiliki beberapa ketrampilan, antara lain :

1. Adaptability

Pustakawan hendaknya cepat berubah menyesuaikan keadaan yang menantang. Mereka tidak selayaknya mempertahankan paradigma lama yang sudah bergeser nilainya. Pustakawan sebaiknya adaptif memanfaatkan teknologi informasi. Feret dan Marcinek (1999) menyatakan bahwa pustakawan harus berjalan seirama dengan perubahan teknologi yang terus bergerak maju dan pustakawan harus mampu beradaptasi sebagai pencari dan pemberi informasi dalam bentuk apapun. Pustakawan dalam memberikan informasi tidak lagi bersumber pada buku teks dan jurnal yang ada di rak, tetapi dengan memanfaatkan Internet untuk mendapatkan informasi yang segar bagi penggunanya. Erlendsdottir (1997) menyatakan kita bukan lagi “penjaga” buku. Kita adalah information provider di situasi yang terus berubah dan dimana kebutuhan informasi dilakukan dengan cepat dan efektif. Sekarang misi kita adalah mempromosikan jasa-jasa untuk informasi yang terus membludak. Dan bahkan jika kita tidak berubah, teknologi informasi akan mengubah tugas kita.

2. People skills (soft skills)

Pustakawan adalah mitra intelektual yang memberikan jasanya kepada pengguna. Mereka harus lihai berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan penggunannya. Agar dalam berkomunikasi dapat lebih impresif dengan dasar win-win solution maka perlu people skills yang handal. Menurut Abernathy dkk.(1999) : …perkembangan teknologi akan lebih pervasive tetapi kemampuan tentang komputer saja tidaklah cukup untuk mencapai sukses. Karena itu membutuhkan people skills yang kuat yaitu :

a. pemecahan masalah (kreatifitas, pencair konflik)

b. Etika (diplomasi, jujur, profesional)

c. Terbuka (fleksibel, terbuka untuk wawasan bisnis, berpikir positif)

d. “Perayu” (ketrampilan komunikasi dan mendengarkan atentif)

e. Kepemimpinan (bertanggung jawab dan mempunyai kemampuan memotivasi)

f. berminat belajar (haus akan pengetahuan dan perkembangan). Hal ini didukung oleh Feret dan Marcinek (1999), yang mengatakan bahwa pustakawan masa depan harus sudah siap untuk mengikuti pembelajaran seumur hidup. Hal ini penting agar pustakawan mudah beradaptasi.

People skills ini dapat dikembangkan dengan membaca, mendengarkan kaset-kaset positif, berkenalan dengan orang positif, bergabung dengan organisasi positif lain dan kemudian diaplikasikan dalam aktivitasnya sehari-hari.

3. Berpikir positif

Didalam otak kita terdapat mesin “yes” . Ketika kita dihadapkan sesuatu pekerjaan yang cukup besar, maka umumnya kita berkata : Wah….. tidak mungkin; aduh….. sulit, dsb. Maka apa yang kita laksanakan juga tidak mungkin terjadi . Pesimistis . Dan pesimistis bukan sifat pemenang tapi pecundang. Pustakawan diharapkan menjadi orang di atas rata-rata. Sebagai pemenang yang selalu berpikiran positif, sehingga jika dihadapkan pada pekerjaan besar seharusnya berkata “yes” kami bisa. Remember, you are what you think, you feel what you want. Orang Jawa berkata mandi ucape dewe

4. Personal Added Value

Pustakawan tidak lagi lihai dalam mengatalog, mengindeks, mengadakan bahan pustaka dan pekerjaan rutin lainnya, tetapi di era global ini pustakawan harus mempunyai nilai tambahnya. Misalnya piawai sebagai navigator unggul. Dengan nilai tambah, yang berkembang dari pengalaman , training dsb, pustakawan dapat mencarikan informasi di Internet serinci mungkin. Hal ini sudah barang tentu akan memuaskan pengguna perpustakaan. Kepuasan pengguna itu sangat mahal bagi dirinya maupun bagi perpustakaan dimana ia bekerja.

5. Berwawasan Enterpreneurship

Sudah waktunya bagi pustakawan untuk berpikir kewirausahaan. Informasi adalah kekuatan. Informasi adalah mahal, maka seyogyanya pustakawan harus sudah mulai berwawasan enterpreneurship agar dalam perjalanan sejarahnya nanti dapat bertahan. Lebih-lebih di era otonomi, maka perpustakaan secara perlahan harus menjadi income generation unit. Memang sudah ada pustakawan yang berwawasan bisnis, tapi masih belum semuanya. Paradigma lama bahwa Perpustakaan hanya pemberi jasa yang notabene tidak ada uang harus segera ditinggalkan.

6. Team Work - Sinergi

Di dalam era global yang ditandai dengan ampuhnya Internet dan membludaknya informasi, pustakawan seharusnya tidak lagi bekerja sendiri. Mereka harus membentuk team kerja untuk bekerjasama mengelola informasi. Choo yang dikutip Astroza dan Sequeira (2000) mengatakan bahwa perubahan teknologi menawarkan kesempatan unik untuk bekerjasama lintas disiplin dengan profesional lainnya :

- pakar komputer yang bertanggung jawab pada pusat komputer

- pakar teknologi yang bertanggung jawab pada infrastruktur teknologi, jaringan dan aplikasi

- pakar informasi (pustakawan) yang mempunyai kemampuan dan pengalaman untuk mengorganisasi pengetahuan dalam sistem dan struktur yang memfalisitasi penggunaan sumber informasi dan pengetahuan.

Diharapkan dengan team work, tekanan di era industri informasi dapat dipecahkan. Menurut Astroza dan Sequeira (2000) perubahan teknologi dan perkembangan industri informasi berdampak luas pada profesional informasi : pustakawan, arsiparis, penerbit. Profesi ini menghadapi 2 tekanan komplementer, yaitu :

1. perkembangan jumlah informasi dan tersedianya teknologi baru, memungkinkan untuk akses dan memproses informasi lebih besar dari lima tahun yang lalu.

2. harapan pengguna yang terus meningkat dapat menciptakan kebutuhan jasa informasi yang kualitasnya lebih canggih.

Dengan enam ketrampilan di atas diharapkan pustakawan akan terus berkembang menjalankan tugasnya seiring dengan perubahan jaman yang begitu cepat. Profesionalisme pustakawan akan lebih mendarah daging dan menjiwai setiap aktivitasnya.

BAGAIMANA IPI ?

Bagaimana dengan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI yang harus dibaca i_pé_i) yang telah berusia 28 tahun ini. Dari segi umur merupakan masa yang cukup kokoh, tangguh dan perkasa. Suatu periode yang mampu menghadapi perubahan tentunya.

Untuk itulah maka IPI harus :

  1. Mampu merespons arus kesejagadan (globalisasi) yang disamping menyodorkan kesempatan dan tantangan tapi juga memberi ancaman. Dengan enam ketrampilan di atas diharapkan IPI sebagai wadah pustakawan dapat terus berkembang sesuai dengan programnya.
  2. Mampu menunjang kelancaran otonomi daerah.

Otonomi daerah pada hakekatnya adalah kemandirian dalam penyelenggaraan pemerintahan, proses pembangunan, pemberdayaan masyarakat yang memerlukan pengelolaan (manajerial) yang professional, benar dan baik untuk mewujudkan good governance dan clean governance (Chajaridipura, 2001). Ada satu kunci yang perlu dicermati, yaitu pemberdayaan masyarakat. Karena masyarakat Indonesia 65% berada di desa, maka IPI harus mampu memberdayakan, dalam arti membuat masyarakat mampu bersaing di era global yang penuh persaingan ini. Untuk itu IPI harus mulai menggarap pustakawan – pustakawan desa agar mereka handal dan tangguh melalui training atau pelatihan- pelatihan yang efektif serta aplikatif.

  1. Dalam setiap kegiatan hendaknya IPI bersinergi dengan asosiasi atau institusi lain, misalnya FPPTI, FKP2T dsb, agar gregetnya terasa lebih menggigit.
  2. IPI hendaknya lebih extrovert. Tak kenal maka tak sayang itulah pepatah yang harus menjiwai di tubuh IPI. Dari dulu penulis mengingnginkan IPI lebih ada keberadaannya. Kegiatan profesional suatu saat tertentu ditinggalkan sebentar untuk kegiatan global dan isidental, misalnya : ikut serta pelaksanaan bersih kota, mengentas kemiskinan dsb. Karena dengan membaurnya IPI dengan masyarakat luas maka masyarakat semakin dekat dengan IPI. Dan IPIpun akan dikenal dan disayang.

PENUTUP

Era global dan era Internet telah menantang profesionalisme pustakawan. Tantangan tersebut bukanlah hal yang menakutkan, tetapi justru menjadi peluang emas bagi pustakawan untuk bergerak maju meretas batas. Dengan enam ketrampilan di atas diharapkan pustakawan demikian juga wadahnya IPI, akan lebih exist dan berjuang sesuai dengan program kerjanya. Dan terus mendukung program pemerintah yang tertuang dalam TAP MPR-RI No. XV/MPR/1998, tanggal 13 November 1998 tentang : Penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Semoga.


DAFTAR PUSTAKA

- Abidin, Mas’oed (1999). Dampak globalisasi memasuki millennium ketiga.

(http ://www.geocities.com/Tokyo/Ginza/8700/dampak.html )

- Abernathy et.al (1999). Test your 2000 + People Skills. (http://proquest.umi.com/ pqdweb? TS . Restricted search)

- Astroza, M. T dan Sequeira,D (2000). Challenges in training new health information professionals in Latin America. (http://www.icml.org/wednesday/choice/ astroza/final.htm)

- Chajaridipura (2000). Binatang apakah Otonomi Daerah itu ? Manajemen. Mei.

- Erlendsdottir, L (1997). New technology, new librarians ?.

(http:www.ukoln.ac.uk/services/papers/bl/ans-1997/erlendsdottir).

- Feret, B dan Marcinek, M (1999). The future of the academic library and the academic librarian – a Delphi Study. (http://educate.lib.chalmers.se/IA …roceedcontents/ chanpap/feret.html).

- Kurnia, K (….), Manfaat Internet. Kompas Cyber Media (http://www.kompas. com/kcm/kafi/ kf11.htm)

- Mahayana, D (1995). Menjemput masa depan (http://www15.brinkster.com/stress95/ articles.htm).

- Muis, A (2000). Indonesia di era dunia maya. Bandung : Remaja Rosdakarya.

- Suyono (1999), Masa depan pendidikan dan pendidikan masa depan. Suara Pemba-haruan Daily. (http://www.suarapembaruan.com/News/1999/01/300199/OpEd /op01/op01.html)

- Sadaruwan, A (2001). Kawin Internet Pemuda Bosnia-Cewek Kediri .Jawa Pos. 5 Ok-tober.

- Wirawan (1993). Profesi kepustakawanan : suatu analisa. Makalah disampaikan pa-da Rapat Kerja Pusat IPI di Mataram, NTB, tanggal 21-23 Juli.


Text Box: PROFESIONALISME PUSTAKAWAN  DI ERA GLOBAL        Oleh : Achmad Pustakawan  Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya        Makalah disampaikan pada : Rapat Kerja Pusat XI Ikatan Pustakawan Indonesia XI  dan Seminar Ilmiah   Jakarta, 5 –7 November 2001



¯ Pustakawan ITS, Surabaya

http://www.google.co.id/search?q=profesionalisme+pustakawan&btnG=Telusuri&hl=id

Kepustakawanan Alternatif (Alternative Librarianship)



KEPUSTAKAWANAN ALTERNATIF *)
Melling Simanjuntak
AbstrakRata Kiri Kanan
Meluasnya pengguna teknologi informasi di kalangan masyarakat dewasa ini menuntut
pustakawan untuk rela meninjau kembali dan merevisi paradigma maupun praktekpraktek
kepustakawanan yang dianut selama ini. Perubahan-perubahan perlu dilakukan
secara holistik dan menyangkut berbagai aspek termasuk manajerial dan mental tetapi
dengan tetap menyadari ketakseragaman level teknologi informasi bermacam
perpustakaan di berbagai penjuru negeri. Hasil yang diidamkan adalah kepustakawanan
yang akomodatif terhadap perkembangan teknologi informasi tetapi dalam baktinya
tetap sadar dan hirau akan sebagian perpustakaan yang memang masih harus
beroperasi secara tradisional. Kepustakawanan seperti ini merupakan alternatif untuk
menangkal marginalisasi profesi sekaligus meningkatkan kepustakawanan tanpa
melupakan dan meninggalkan realita.
*****
“Knowledge is of two kinds. We know a subject ourselves, or we
know where we can find information upon it.”
Samuel Johnson ( 1709-1784), menulis kata-kata bijak di atas pada 18 April1775,
atau 120 tahun sebelum Alexander Graham Bell (1847-1922) mencipta pesawat telepon
pada 1876 dan hampir satu setengah abad sebelum J. Presper Eckert dan John W.
Mauchly dari University of Pennsylvania merampungkan ENIAC, komputer pertama.
Sekarang, atau lebih dua abad sejak dituliskan dan ketika informasi, telepon dan
komputer telah menjadi subsistem dari suatu sistem informasi yang mendunia, kebenaran
kata-kata Samuel Johnson tidak berubah: " Ada dua jenis pengetahuan. Kita tahu
subjeknya, atau kita tahu di mana kita memperoleh informasi tentang subjek itu.” Yang
telah berubah, atau setidaknya mulai berubah, adalah jenis pengetahuan yang dibutuhkan
untuk dapat memperoleh informasi yang dimaksud. Perubahan itu akibat meningkatnya
penggunaan teknologi informasi oleh masyarakat, termasuk peningkatan pemanfaatan
teknologi komputer untuk menyimpan informasi.
*) Makalah ini pernah disampaikan pada Kongress Nasional Ikatan Pustakawan Indonesia di
Jakarta, Nopember 1995.
2
Kemapanan kertas sebagai media informasi selama ratusan tahun kini ditantang
oleh cakram maupun pita magnetis dan optis yang menawarkan cara yang berbeda dalam
menyimpan dan menemukan kembali informasi. Media altematif ini membuat kepustakawanan--
yang tumbuh, berkembang, dan dikembangkan menurut karakteristik media cetak
seperti buku, majalah, dan surat kabar—perlu disesuaikan.
Paradigma atau pola pikir yang berlaku bagi kepustakawanan kertas tidak selalu
berlaku bagi kepustakawanan magnetis/optis. Hal ini perlu mendapat perhatian
mengingat informasi digital tumbuh dengan pesat dan semakin mengimbangi informasi
cetak sehingga perlu dicari atau dibentuk pola pikir yang tepat untuk kepustakawanan
elektronik sebagai pola pikir altematif.
Makalah ini dimaksudkan untuk meninjau perkembangan pemakaian teknologi
informasi di Indonesia dari sudut pandang pustakawan seraya berupaya melihat dampak
potensialnya terhadap profesi pustakawan, lalu membahas beberapa paradigma yang
mungkin tidak sesuai dengan lingkungan informasi digital dan perpustakaan virtual.
DIGITALISASI INFORMASI
Format elektronik pada media magnetik mulai mendampingi format cetak pada
media kertas ketika sejumlah pangkalan data online didirikan pada pertengahan tahun
enampuluhan. Media optik menyusul pada pertengahan delapan puluhan dengan terbitnya
sejumlah CD-ROM (Compact Disk-Read Only Memory). Digitalisasi informasi semakin
laju pada akhir delapan puluhan dan berlanjut hingga detik ini. Secara berangsur format
elektronik semakin populer dan koeksis dengan format cetak. Laju pertumbuhan
informasi yang ekponensial di satu sisi, serta meningkatnya kemampuan teknologi
informasi, turunnya biaya penyimpanan, pengolahan, dan penyebaran informasi dengan
komputer di sisi lain, ikut mendorong digitalisasi tersebut.
Pada tahap awal perkembangannya, format elektronik--maknetik dan optik--
umumnya baru digunakan untuk menyimpan informasi sekunder seperti bibliografi dan
indeks. Baru pada perkembangan selanjutnya format elektronik mencakup teks penuh
(fulltext) informasi primer, terutama artikel majalah. Dialog, BRS, Lexis-Nexis,
merupakan pangkalan data yang sudah menyediakan teks lengkap artikel-artikel majalah
secara online. Disebut sebagai jurnal elektronik, teks lengkap yang tersedia secara online
ini (dan belakangan tersedia dalam CD-ROM) umumnya terdiri dari teks saja dan tidak
memuat citra (gambar, grafik, ilustrasi, dsb) yang terdapat pada naskah cetaknya. Baru
pada perkembangan lebih lanjut lagi, jurnal elektronik memuat citra penuh, atau fullimage,
sehingga tampilannya pada layar komputer terlihat persis seperti versi cetaknya,
dan hasil cetaknya terlihat seperti hasil fotokopi dar artikel aslinya. Beberapa contoh
jurnal elektronik citra penuh adalah GPO ProQuest dari UMI dan Adonis dari
konsorsium sepuluh penerbit Eropa.
PERPUSTAKAAN DIGITAL DAN VIRTUAL
3
Digitalisasi informasi oleh perpustakaan dan pusat informasi di Indonesia dimulai
pada awal 80an ketika sejumlah perpustakaan unggul mulai menggunakan komputer
sebagai sarana penyimpanan dan pengolahan informasi. Dewasa ini boleh dikatakan
bahwa sebagian besar perpustakaan telah menggunakan komputer dan mempunyai
sumber informasi dalam format elektronik. Beberapa perpustakaan bahkan mempunyai
lebih banyak sumber informasi format elektronik daripada sumber informasi format
cetak. Perpustakaan seperti ini yang lebih mengandalkan informasi-informasi digital,
disebut perpustakaan digital. Puluhan ribu perpustakaan dan pusat informasi yang berisi
tak terhingga sumber informasi ini saling terhubung melalui Internet dan dimanfaatkan
oleh ratusan juta pemakai, individu atau organisasi (Garret), membentuk suatu sistem
informasi amat besar dan sering disebut perpustakaan virtual. Konsep perpustakaan
virtual pada dasarnya adalah akses jarak jauh ke isi dan layanan perpustakaan dan
sumber-sumber informasi lain, baik bahan-bahan cetak maupun elektronik. Perpustakaan
dan sumber-sumber informasi ini tersambung ke jaringan elektronik yang memungkinkan
akses ke, dan mengambil informasi dari perpustakaan dan sumber-sumber lain di seluruh
dunia (Gapen).
Internet, yang dijuluki sebagai jaringan dari semua-iaringan meski baru tersedia
secara lebih luas dalam beberapa tahun terakhir, dengan cepat meraih popularitas
dikalangan pencari maupun penjual informasi. Di Indonesia dewasa ini terdapat sekitar
15.000 pelanggan akses ke Internet melalui 5 access providers yang ada, dan angka itu
terus bertambah. Jumlah pemakai Internet diperkirakan bisa mencapai satu setengah atau
dua kali lebih banyak dari jumlah pelanggan mengingat bahwa satu keanggotaan
mungkin dipergunakan oleh lebih dari satu orang sebagaimana halnya satu surat kabar
langganan dibaca oleh beberapa orang.
Belum dapat diketahui bagaimana para pelanggan akses Internet memanfaatkan
jaringan informasi global ini. Seseorang dari kantor berita Reuter baru-baru ini
menyebarkan melalui Internet daftar pertanyaan untuk mengetahui pemanfaatan Internet
tentang Indonesia dan oleh pelanggan di Indonesia. Daftar pertanyaan yang disebarkan
melalui milis 'Apakabar' (dan mungkin juga melalui milis lain) ini akan mampu
menjawab pertanyaan tersebut. Namun secara umum pemakaian Internet dapat dibagi
dalam tiga level, yakni level komunikasi fundamental, level komunikasi interaktif, dan
level lanjut (Reid). Pada level fundamental Internet digunakan untuk berkirim surat
elektronik atau e-mail, fungsi paling sederhana dari Internet, dan menurut suatu
penelitian yang dilakukan di New Mexico, Amerika Serikat, adalah merupakan fungsi
yang paling sering dimanfaatkan pelajar sekolah menengah atas untuk bersosialisasi
(Tsikalas). Pada level interaktif, Internet digunakan untuk akses jarak jauh ke sistem
komputer lain baik yang cuma-cuma seperti perpustakaan perguruan tinggi pada
umumnya maupun yang komersial dan membutuhkan password seperti Dialog
Information Services. Pada level komunikasi interaktif, pemanfaatan Internet mendekati
fungsi tradisional pustakawan. Sementara pada level komunikasi lanjut, Internet
dimanfaatkan untuk transfer file menggunakan fasilitas file transfer protocol (ftp).
Perpustakaan dan pusat informasi di Indonesia sudah menyadari bahwa Internet memberi
cara alternatif dalam penyediaan informasi. Biro Pusat Statistik (BPS) dalam posting bertanggal
4
2 Oktober 1995 di “Apakabar" mengumumkan bahwa kantor statistik tersebut dapat dijangkau
lewat Internet untuk memperoleh data dan tabel yang sebelumnya hanya tersedia dalam format
cetak. Sebagian data statistik BPS tersedia untuk didownload oleh pemakai. Perpustakaan USIS
di Jakarta mulai bereksperimen menyediakan sebagian informasinya melalui Internet dengan
membangun Homepage United States Commercial and Information Center pada akhir 1994,
yang juga memuat informasi tentang dan dari U.S.-Asia Environmental Partnership dan U.S.
Foreign Commercial Service. Pusdata Departemen Perindustrian juga dapat diakses lewat
Internet untuk mendapatkan, misalnya, Paket Kebijaksanaan 25 Mei. Berbagai media massa
memanfaatkan Internet untuk tujuan yang mungkin bersifat promosi tetapi tetap dapat dilihat
sebagai upaya menyebarkan informasi secara tak konvensional. Gatra, Kompas, Republika,
secara teratur memasang dalam, “Apakabar" beberapa artikel dari setiap terbitannya. Bahkan
Harian Kompas meluncurkan Kompas Online (Kompas Minggu, 22 Oktober 1995) sebagai versi
digital dari versi cetaknya. Surat kabar online ini terlihat persis sama dengan versi cetaknya,
menurut Kompas. Beberapa kali Gunawan Mohammad, mantan pemimpin redaksi majalah berita
mingguan Tempo dulu, menayangkan 'Catatan Pinggir' di forum yang sama. Menyediakan
pangkalan data lewat Internet bukan satu-satunya cara bagi pusat informasi dan perpustakaan
agar dapat diakses secara online. Bulletin Board System (BBS) kini banyak dimanfaatkan untuk
menyediakan informasi secara online. Kompas 4 Oktober mencatat 23 pengelola BBS yang
tersebar di Jakarta, Bandung, Malang dan Surabaya--berikut nomor-nomor teleponnya untuk
sambungan online.
PUSTAKAWAN TERSISIH
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa semakin banyak informasi tersedia dalam
format elektronik, dan sebagian di antaranya dapat diakses secara online. Dengan
menggunakan komputer yang dilengkapi modem dan melalui jaringan Internet atau BBS,
pemakai dapat mencari sendiri dan menemukan informasi yang dibutuhkan tanpa harus
dibantu oleh pustakawan. Peran pustakawan yang secara tradisional menjadi mediator
antara pencari informasi dan informasi di dalam perpustakaan akan semakin kurang
penting seiring bertambahnya pusat informasi online dan meningkatnya kemampuan
masyarakat dalam menggunakan teknologi informasi. Saat ini saja, mereka yang
membutuhkan data statistik dari BPS tidak harus datang ke perpustakaan dan minta
bantuan pustakawan untuk menemukan data yang diinginkan karena mereka sendiri dapat
memperolehnya langsung lewat Internet.
Proses marginalisasi akan berlangsung terus sebagai akibat perkembangan
teknologi informasi yang tiada akan berhenti, terutama jika pustakawan tidak
membarukan visi mereka tentang kepustakawanan dan menyesuaikan praktek
kepustakawanan dengan perkembangan teknologi informasi (Park). Menyesuaikan dapat
berarti meninjau kembali paradigma atau pola pikir mereka tentang kepustakawanan itu
sendiri sambil menyadari bahwa paradigma yang selama ini mereka anut belum tentu pas
dengan model kepustakawanan digital, sudah usang untuk dijadikan tuntunan dalam
lingkungan perpustakaan virtual. Sayangnya, sangat sedikit di antara kita yang mulai
memikirkan macam lingkungan yang perlu kita ciptakan di perpustakaan kita untuk
mendukung format media baru informasi yang tumbuh pesat (Houweling). Pustakawan
perlu menyadari bahwa mereka harus beradaptasi dengan lingkungan informasi yang
tengah berubah dan merangkul teknologi informasi untuk meningkatkan, atau paling
5
tidak mempertahankan. peran mereka dalam lalu lintas informasi.
Beberapa pola pikir atau konsep yang sudah berakar dalam kepustakawanan perlu
ditinjau kembali, dianalisis, dilihat kesahihannya dalam konteks perpustakaan virtual.
Pola pikir dimaksud mungkin sepintas terlihat tidak terlalu penting tetapi dalam
kenyataannya dapat menjadi penghalang dalam upaya beradaptasi dengan lingkungan
informasi digital. Misalnya konsep pustakawan mengenai besar-kecil perpustakaan,
tentang pemilikan sumber informasi, dan tentang perlunya pustakawan mengenal jaringan
informasi seperti bahasan berikut.
KECIL ITU BESAR
Apa yang dimaksud dengan perpustakaan kecil? Pada literatur yang kita baca
sepuluh tahun lalu, suatu perpustakaan disebut kecil jika koleksinya tidak lebih dari
20.000 buku plus sekian majalah dan menyediakan sekian kursi untuk diduduki
pengunjung. Perpustakaan yang lebih besar mempunyai koleksi yang lebih banyak, kursi
yang lebih banyak, staf yang lebih banyak, dan--konsekwensi logisnya--ruangan yang
lebih luas atau gedung yang lebih besar. Kategori besar atau kecilnya perpustakaan
ditentukan berdasarkan dimensi fisiknya. Ini salah satu contoh pola pikir model
kepustakawanan yang meletakkan pemilikan bahan pustaka cetak sebagai pusat
eksistensinya. Pola pikir ini mungkin masih benar jika yang diacu adalah perpustakaan
yang mengemban tugas melestarikan bahan pustaka cetak atau perpustakaan deposit
tetapi belum tentu benar jika yang diacu adalah perpustakaan yang mengutamakan
pemenuhan kebutuhan informasi komunitasnya.
Persepsi pustakawan tentang besar-kecil perpustakaan berdasarkan dimensi fisik
seperti di atas dapat menjadi kendala mental untuk menerima kehadiran teknologi
informasi. Pustakawan yang terobsesi untuk membesarkan perpustakaannya secara fisik
tidak akan mudah memilih, sebagai contoh, versi CD-ROM majalah karena tidak
berdampak banyak terhadap pembesaran perpustakaan. Satu set General Periodical
Ondisk ProQuest dari UMI terdiri atas kurang lebih 700 CD-ROM yang jika ditumpuk
akan membentuk silinder berdiameter 12 cm dan tinggi hanya 1,5 meter. Padahal, CDROM
ini memuat citra penuh 500 judul majalah dari total 1500 judul yang dimuat
indeks/abstraknya, terbitan antara 1986 sampai satu bulan yang lalu. Menyimpan versi
cetak seluruh informasi yang dikandung 700 CD-ROM ini dapat menghabiskan ruangan
100 meter persegi.
Konversi koleksi dari media kertas ke CD-ROM perlu dipertimbangkan
perpustakaan yang menghadapi masalah atau kesulitan dalam menyediakan ruang
penyimpanan yang besar. Satu CD-ROM dapat dijejali 650 megabyte informasi atau
setara dengan sekitar 350.000 halaman cetak. Dengan matematika sederhana, 3.500
bahan pustaka yang rata-rata terdiri atas 100 halaman dapat dikonversi ke satu CD- ROM
saja--bayangkan berapa banyak ruang koleksi dan biaya tersembunyi yang dapat dihemat.
Dalam konsep perpustakaan digital dan virtual, perpustakaan besar adalah
perpustakaan yang dapat mengakses lebih banyak informasi dan tidak berarti harus besar
6
secara fisik. Satu perpustakaan berukuran seratus meter persegi dengan koleksi 500 CDROM,
2.000 bahan pustaka cetak, akses ke ribuan pangkalan data lewat Internet, dan
didukung oleh lima cybrarian, mungkin masih lebih besar daripada perpustakaan lain
berukuran ribuan meter persegi dan didukung oleh belasan bahkan puluhan librarian
tetapi hanya mampu mengakses ratusan ribu bahan pustaka cetak koleksi sendiri.
MILIK Vs. AKSES
Persepsi tentang besar-kecil perpustakaan berdasarkan dimensi fisik dapat
membuat pustakawan mengagungkan pemilikan bahan pustaka. Makin banyak bahan
pustaka buku dan majalah yang dimiliki suatu perpustakaan, makin hebatlah
perpustakaan itu karena makin besar dan kemungkinan lebih lengkap koleksinya.
Kebijaksanaan atau pedoman pengembangan koleksi ditekankan pada pembelian bahan
pustaka dalam format cetak dan kurang memperhatikan kemungkinan menyediakan akses
ke pusat-pusat informasi yang banyak tersedia. Pada era perpustakaan virtual kini,
memiliki sendiri suatu sumber informasi belum tentu lebih menguntungkan daripada
memiliki akses ke sumber informasi. Tergantung pada karakteristik informasi dan
kecenderungan pemakaiannya, memiliki sendiri sumber informasi dapat lebih mahal
daripada menyediakan fasilitas online dan memanfaatkan sumber-sumber informasi yang
dimiliki pihak lain. Tidak mengherankan jika mulai banyak perpustakaan yang
memutuskan langganan atau tidak membeli bahan pustaka cetak karena bahan yang sama
tersedia secara online. Perpustakaan berkoleksi kecil dan sedang dapat menelusur
jaringan untuk menemuka informasi di perpustakaan lain, termasuk informasi yang
belum tersedia dalam for mat cetak. Menurut suatu survei, banyak responden
memperoleh versi elektronik dokumen-dokumen terbitan pemerintah sebelum versi
cetaknya diterima lewat pos (Miller). Saat ini sedang berlangsung pergeseran dari
kecenderungan perpustakaan untuk 'memiliki' sumber informasi ke kecenderungan untuk
menyediakan ‘akses', ke pusat- pusat informasi online (Verity), atau pergeseran dari
pendekatan kearsipan ke pendekatan akses (Gapen).
Sekedar untuk menjelaska bahwa “memiliki” bisa lebih mahal daripada
“menyediakan akses', pengandaian berikut mungkin bisa menolong. Untuk berlangganan
dan memiliki New York Times dalam bentuk film mikro dari UMI perlu biaya Rp. 2 juta
setahun. Versi CD-ROMnya juga tersedia dari UMI seharga Rp. 4 juta, terdiri dari 3 CDROM
dan mencakup NYT terbitan mulai 1986 dengan update setiap beberapa bulan.
Versi online CD-ROM ini tersedia melalui salah satu agen dengan perhitungan biaya
berdasarkan durasi hubungan online dan informasi yang didownload. Berdasarkan
statistik dari tiga tahun terakhir tentang pemakaian NYT versi film mikro koleksi suatu
perpustakaan, diketahui bahwa rata-rata hanya dua pemakai setiap bulannya dan tiap
pemakai mencetak rata-rata 3 artikel. Berdasarkan data ini, perpustakaan tersebut
memutuskan tidak perlu meneruskan berlangganan versi film mikro apalagi membeli
versi CD-ROM NYT karena untuk memenuhi permintaan dua pengunjung perpustakaan
dan melanggan akses ke versi onlinenya untuk mendapatkan 6 artikel setiap bulannya,
perpustakaan tersebut hanya akan membelanjakan kurang dari Rp. 1.000 .000 per tahun,
dan karena perpustakaan tersebut tidak berfungsi sebagai pusat arsip, dan karena untuk
memiliki dan menyimpan NYT versi film mikro akan makan tempat dan berarti biaya
7
tersembunyi, karena harga microform reader-printer belasan juta rupiah, karena
menelusur versi online jauh lebih mudah.
Sumber informasi online tersedia hampir untuk setiap bidang ilmu dari ratusan
bahkan ribuan institusi atau korporasi yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Namun
tidak seperti informasi cetak semisal buku dan majalah yang relatif mudah ditemukan
melalui katalog, brosur, tinjauan pustaka dan sejenisnya, informasi mengenai sumber
informasi online seringkali hanya tersedia secara online pula. Dari pustakawan dituntut
pengetahuan tentang jaringan informasi online dan tentang pangkalan data yang relevan
dengan jenis dan layanan perpustakaannya agar dapat mengeksploitasinya dengan sebaikbaik
dan sebijak-bijaknya. Pustakawan dituntut supaya melek jaringan.
MELEK JARINGAN (Network Literacy)
Mula-mula adalah jaringan televisi dan radio yang dianggap paling mampu
menembus batas-batas geografi dan budaya dalam menyebarkan informasi dan pengaruh.
Kini, Internet membuktikan bahwa jaringan informasi elektronik ini dapat menyamai dan
mungkin akan melebihi jaringan media massa elektronik dalam kemampuan menembus
batas-batas tadi. Teknologi (informasi) meningkatkan dan mengubah pengalaman anusia
dengan menghomogenkan dimensi waktu dan tempat (Boorstin). Hampir tidak ada
bedanya mengakses pangkalan data di benua lain atau di Jakarta jika dilihat dari dimensi
tempat. Lewat Internet, menghubungkan komputer di Jakarta dengan suatu pusat
informasi di Amerika Serikat tidak lebih sulit daripada menghubungkan komputer yang
sama dengan suatu pangkalan data di Jakarta sendiri. Keduanya sama-sama
membutuhkan hubungan telepon dengan Internet access provider langganan di Jakarta,
keduanya sama-sama memberikan waktu respon yang hampir tidak betbeda. Yang
menjadi rintangan untuk mengakses pusat informasi di tempat-tempat yang betbeda tidak
terletak pada posisi georafis pusat informasi tersebut, tidak pada hitungan kilometer
antarpusat, tidak pada latar belakang etnis, melainkan pada pengetahuan pustakawan
tentang pusat-pusat informasi yang relevan dengan bidang kegiatan perpustakaannya.
berpengetahuan cukup tentang jaringan informasi--melek jaringan atau network literacybagi
pustakawan sama pentingnya dengan melek huruf bagi umat manusia.
Pustakawan perlu menerima pola-pikir baru ini dan menolak anggapan bahwa
melek huruf dan melek komputer saja sudah cukup untuk menghadapi tantangan
perkembangan teknologi informasi. Juga menolak sikap represif kultural dan politis
hanya karena lewat jaringan Internet dapat diperoleh informasi altematif, yaitu informasi
yang tidak dapat ditemukan pada media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan
televisi. Singapura saja, yang masih melarang pemakaian antena parabola dan mencekal
banyak jurnal luar negeri, menjadi pionir dalam revolusi informasi (Keegan) dan
mendukung terciptanya “masyarakat jaringan” dengan menyediakan infrastruktur yang
mendukung pemasyarakatan Internet. Melek jaringan atau kemampuan untuk
mengidentifikasi, mengakses, dan menggunakan informasi elektronik dari jaringan, akan
merupakan keakhlian kritis untuk warga masa depan jika mereka ingin produktif dan
efektif dalam kehidupan pribadi dan kehidupan profesional mereka (McClure).
8
Melek jaringan bukan berarti harus menguasai teknologi informasi melalui
pendekatan teknologinya--meskipun itu akan merupakan nilai tambah--tetapi sudah
memadai jika menguasainya melalui pendekatan informasinya. Misalnya, seorang
pustakawan perpustakaan virtual harus mampu menentukan, dari antara puluhan ribu
pusat informasi yang tersambung ke Internet, pusat mana yang paling mungkin
mempunyai informasi yang dibutuhkan (Garrett).
KEPUSTAKAWANAN ALTERNATIF
Peran pustakawan dalam masyarakat adalah memaksimalkan pemanfaatan
sumber-sumber informasi demi keuntungan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain,
fungsi pustakawan adalah menjadi mediator antara masyarakat dan sumber-sumber
informasi; bukan hanya buku tetapi termasuk sumber-sumber informasi dalam media
lain. Tujuan perpustakaan adalah untuk menghubungkan masyarakat dengan
pengetahuan terekam dengan cara yang semanusiawi dan sebermanfaat mungkin
(Gapen). Sebagai mediator antara masyarakat dan sumber informasi, hakekat tugas
pustakawan dalam menjalankan perannya saling terkait dan saling pengaruh dengan
hakekat media informasi yang tersedia. Seperti telah dibicarakan, kehadiran media
elektronik sebagai altematif bagi media cetak mempengaruhi cara-cara pustakawan
menjalankan perannya agar tetap maksimal. Tetapi perlu diingat bahwa media cetak
belum dan tidak akan sama sekali digantikan oleh media elektronik. Keduanya masih
terus akan berdampingan, saling melengkapi, meski tidak dapat disangkal bahwa
pertumbuhan media elektronik sangat cepat dan akan menguruskan dominasi kertas
sebagai media informasi. Sebab itu, kepustakawanan yang berlandaskan kertas masih
tetap dibutuhkan. Tetapi, pada saat yang sama, kepustakawan virtual dan digital semakin
diperlukan
Pustakawan perlu menyadari bahwa perlu ditumbuhkan suatu jenis
kepustakawanan dengan paradigma-paradigma baru yang mampu menjawab tantangan
media elektronik tanpa meninggalkan kepustakawanan konvensional yang memang
masih dibutuhkan. Kepustakawanan altematif yang dapat menangkal marginalisasi
pustakawan ini harus menjadi bagian dari pelkembangan kepustakawan konvensional,
dan tetap menyadari bahwa kemampuan maupun level digitalisasi dan virtualisasi
berbeda-beda antar perpustakaan. Sebagian perpustakaan di Indonesia masih harus
beroperasi apa adanya, sebagian lagi berpotensi untuk bergabung dengan dan
memanfaatkan Internet pada level komunikasi fundamental. Hanya sebagian kecil yang
sudah mampu memanfaatkan Internet pada level komunikasi interaktif dan level lanjut
untuk merambah ribuan pusat informasi dalam memenuhi kebutuhan pemakainya. Yang
sebagian kecil ini dapat memainkan peran penting untuk meningkatkan unjuk
kerja perpustakaan Indonesia secara umum dengan cara menyediakan diri sebagai
penyambung antara perpustakaan yang belum dan yang sudah virtual.
Kepustakawanan altematif perlu menciptakan dasar-dasar perpustakaan virtual
yang memungkinkan pustakawan konvensional mengakses informasi elektronik dengan
mudah tanpa menjadi pakar teknologi, mengupayakan digitalisasi informasi ilmiah yang
banyak dibutuhkan (Lowry), dan mengupayakan hubungan online pulsa murah antara
9
perpustakaan kecil dengan perpustakaan besar. Dengan upaya-upaya ini, kesenjangan
informasi diharapkan tidak semakin melebar dan masyarakat tidak jatuh pada
kesenjangan baru: kaya informasi, dan miskin informasi.
DAFTAR BACAAN DAN REFERENSI
Ardis, Susan B. [comp.] Library Without Walls. Plug In and Go. Special Libraries
Associations, 1994. 216p.
Garret, John R. "What is a Digital Library? ," dalam “1995 Digital Libraries
Conference: Moving Forward into the Information Era, pp. 13-17
Gruchow, Paul. "Ransacking Our Libraries," Utne Reader, No.69, May 1995, pp. 30-32
Keegan, Victor. "Who's in Charge Here? Speeding Toward the Inforbahn," World Press
Review, Vol. 42, No.4, Apri11995, pp. 8-9
Keiser, Barbie E. "Who is the Modern Information Professional?" in 1995 Digital
Libraries Conference: Moving Forward into the Information Era, pp, 29-38
Kupfer, Andrew. "Alone Together Will being Wired Set Us Free?," Fortune, Vol.
131, No, 5, March 20, 1995, pp, 94-104
Lang, Laura. "Mapping the Future of Map Librarianship," American Library, Vol 23,
No, 10. November 1992, pp. 880-883.
Lowry, Charles B. "Preparing for the Technological Future: A Journey of Discovery,"
Library Hi Tech, Vol. 13, No.3, 1995, pp. 39-53
McClure, Charles R. "Network Literacy: A Role for Libraries?, "Information
Technology and Libraries, June 1994, pp. 115-125
Miller, Jerry P, "Should You get Wired?," Library Journal, Vol. 119, No.2, pp. 47-49
Park, Bruce. "Libraries without Walls; or, Librarians Without Profession," American
Libraries, Vol. 23, No.9, October 1992, pp. 746-747
Person, Ruth. "Organizational Structure at the Crossroads," Educational Record, Vol.
75, No, 3, Summer 1994, pp, 42-46
Reid, Edna O.F. "Internet and Digital Libraries: Implications for Libraries in Asean
Region," in 1995 Digital Libraries Conference: Moving Forward into the Information
Era, pp. 56- 72
Saunders, Laverna M. The Virtual Library: Visions and Realities. Meckler, 1993.
165p.
10
Smith, Kitty ."Toward the New Millennium: The Human Side of Library Automation
(Revisited)," Information Technologies and Libraries, Vol. 12, No.2, June 1993, pp.209-
217
Tennant, Roy. "The Virtual Library Foundation: Staff Training and Support," Information
Technogy and Libraries, March 1995, pp. 46-53
Tsikalas, Kallen. "Internet-based Learning?," Electronic Learning, Vol. 14, No.7,
Apri11995, pp. 14-15
Van Houweling, Douglas E. "Knowledge Services in the Digitized World: Possibilities
and Strategies," Electronic Access to Information: A New Service Paradigm, pp.5-16
Verity, John W. "Welcome to Cy-brary," Business Week, May 29, 1995, pp. 90-91
Watkins, Beverly T. "New Era for Library Schools," Chronicle of Higher Education,
Vol. 40, No.37, May 18,1994, pp. A19-A20