Jumat, 16 November 2007

"PERPUSTAKAAN di sekolah kami sempit dan terasa sesak, karena kami satu ruangan dengan koperasi dan PMR".

Forum Guru Perpustakaan Sekolah

Oleh Dra. St. FARIDA ROSTIAWATY N.


"PERPUSTAKAAN di sekolah kami sempit dan terasa sesak, karena kami satu ruangan dengan koperasi dan PMR". Pernyataan itu dikemukakan salah seorang peserta diklat pengelola perpustakaan sekolah tingkat nasional yang dilaksanakan di Cipayung, Bogor, beberapa waktu lalu.
Diklat yang diikuti 120 peserta dari 10 provinsi itu, sebagian besar peserta mengungkapkan masalah yang hampir sama saat sesi tanya jawab. Yakni mengenai kondisi, koleksi dan pengelola perpustakaan sekolah.
Kondisi perpustakaan sekolah umumnya belum memadai, baik ukuran luasnya maupun fasilitasnya. Banyak perpustakaan sekolah yang luasnya sama dengan ruang belajar, tidak memiliki kursi dan meja baca yang layak. Bahkan ada yang disaturuangkan dengan organisasi lain, seperti pernyataan rekan di atas.
Begitu pula koleksi perpustakaan, banyak buku yang tidak bisa dimanfaatkan, karena buku yang ada terutama buku paket yang dikirim dari pusat (Depdiknas) ada yang tidak sesuai kurikulum yang berlaku saat ini. Akhirnya sebagian guru/ pengajar memilih buku-buku dari penerbit (swasta), sebagai acuan dalam proses KBM (kegiatan belajar mengajar). Hal ini bagi peserta didik yang orang tuanya mampu tentu tidak menjadi masalah, tapi bagaimana dengan mereka yang dari golongan tak mampu?
Sedangkan tentang pengelola perpustakaan, di beberapa sekolah pustakawan bukan lulusan ilmu perpustakaan, tidak profesional, dan ada yang petugasnya hanya seorang. Itu pun rangkap jabatan dengan mengajar, akhirnya pelayanan perpustakaan tidak maksimal!
Sudah sedemikian parahkah perpustakaan sekolah di negara kita? Jawabnya tentu relatif, mungkin ya, mungkin tidak. Di kota besar, di sekolah seperti Al Azhar, SMA Lab School, SMAN 70 Jakarta, SMA Regina Pacis Bogor, atau sekolah lainnya mungkin tidak ada masalah dengan perpustakaan sekolah. Sebab realitas memperlihatkan, sekolah yang memiliki reputasi baik, memiliki perpustakaan yang terkelola dengan baik pula.
Di beberapa daerah, perpustakaan sekolah sepertinya memang dinomorduakan, dalam pembagian tugas atau struktur organisasi, kedudukan pengelola perpustakaan ada di bawah wakil sarana dan prasarana. Yang lebih menyedihkan ada yang tidak memasukkan pendanaan perpustakaan ke dalam RAPBS (rencana anggaran pendapatan dan belanja dekolah). Kalaupun ada dananya sangat minim, dan kadang tidak sesuai yang dianggarkan.
Sebagai sumber belajar
Keberadaan perpustakaan sekolah sebetulnya merupakan hal yang mutlak. Sebab di dunia pendidikan, perpustakaan sekolah merupakan jantungnya informasi yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas pendidikan. Perpustakaan merupakan sumber belajar yang sangat penting, dan bertugas sebagai media penyampai publikasi kekayaan intelektual dan sarana pendukung kegiatan pendidikan.
Di samping itu, perpustakaan sekolah memiliki pengaruh yang cukup besar bagi peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Namun, banyak pihak sekolah yang mungkin tidak menyadari hal itu, dan kalaupun di sekolah sudah ada perpustakaan, manfaat perpustakaan belum dapat dirasakan.
Tidak termanfaatkannya perpustakaan sekolah, menurut Taufik Ismayanto (dosen Ilmu Perpustakaan FIB-UI), berpulang pada masalah klasik. Misalnya kualitas SDM pengelola perpustakaan sekolah, terbatasnya dana rutin yang dialokasikan untuk perpustakaan, kurangnya perhatian dari pimpinan sekolah dan belum adanya program pemerintah yang terencana dan berkesinambungan dalam mengembangkan perpustakaan.
Jadi, bagimana solusinya agar perpustakaan sekolah lebih berkembang, dan dapat dimanfaatkan warga sekolah? Menurut Zulfikar Zein, M.A. (dosen Ilmu Perpustakaan UI), ada 3 pilar utama yang memperkokoh perpustakaan sekolah, yaitu: a. Pemakai; perpustakaan akan tetap eksis dan berkembang jika pemakainya, dalam hal ini warga sekolah, aktif dan disiplin. b. Pustakawan; memiliki sikap tulus hati, ramah, berpikiran positif, supel, pro aktif, dedikatif, dan profesional. c. Koleksi; banyak, lengkap dan beragam.
Ketiga pilar itu akan makin kokoh jika kepala sekolah sebagai orang pertama di sekolah beserta dewan sekolah dan semua pihak pemegang otoritas pendidikan bersama-sama, berpikir, berencana dan bertindak dalam meningkatkan kualitas perpustakaan sekolah. Peningkatan anggaran, pengembangan koleksi dan penyediaan tempat yang ideal mutlak dilakukan.
Selain itu, tentunya dukungan dari pemerintah pun sangat diperlukan. Apalagi dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 Ayat 1 disebutkan, sarana dan prasarana pendidikan (dalam penjelasan dikemukakan bahwa salah satu sarana yaitu perpustakaan sekolah) harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
Ditambah pada Pasal 45 berbunyi: tiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan emosional, dan kejiwaan peserta didik.
Lewat pernyataan itu, pemerintah tentu harus terlibat dalam peningkatan perpustakaan, bukan sekadar wacana. Sebab, bagaimana mungkin kita dapat mengejar ketertinggalan dari negara lain, terutama dari negara serumpun seperti Malaysia, Brunei Darussalam atau lainnya. Kalau dalam bidang pendidikan dalam hal ini perpustakaan, tidak mendapat perhatian dari pemerintah? Inilah PR yang harus dilakukan kita semua, terutama pemerhati pendidikan.***
Penulis, Guru Bahasa Indonesia dan Pustakawan SMAN I Subang

Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0205/28/1105.htm