Kepustakawanan dan Pendidikan Pustakawan
Pada suatu hari di awal Maret 2006, sekelompok pengelola pendidikan pustakawan dari 13 perguruan tinggi di Indonesia berkumpul di Jakarta untuk membicarakan masa depan mereka। Ada di dalam pikiran mereka adalah nasib keseluruhan program pendidikan di bidang ini dan nasib para lulusan yang akan mengemban gelar sarjana atau diploma bidang perpustakaan. Sulit menolak kesan, bahwa yang juga ada di pikiran mereka adalah: bagaimana menghasilkan uang dari penyelenggaraan "industri pendidikan" ini -bagaimana menyelenggarakan sekolah yang dapat membayar dosen dengan wajar dan tidak melecehkan? Secara keseluruhan, memang itulah pendidikan tinggi di jaman sekarang: lulusannya harus bermutu, dosennya harus bisa hidup layak. Tidak lebih, tidak kurang.Tetapi, apa sebenarnya persoalan yang sesungguh-sungguhnya dalam pendidikan pustakawan di Indonesia? Benarkah ini hanya persoalan "industri pendidikan" dan "pasar"?Sebagian besar dari penyelenggara pendidikan D3, S1 dan S2 yang hadir dalam pertemuan itu menginginkan kata "informasi" masuk ke dalam nama departemen, program studi, atau jurusan yang mereka kelola. Secara administratif, pengenaan kata ini sebenarnya tidaklah terlalu menimbulkan persoalan. Artinya, sebagian besar penyelenggara pendidikan tinggi mempunyai otonomi untuk menentukan apa yang ingin mereka gunakan sebagai judul sekolah atau programnya. Sebagian perguruan tinggi negeri yang sudah berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN) bahkan sudah dengan sertamerta menggunakan nama yang mereka inginkan.Bagi perguruan tinggi yang belum BHMN ada sedikit persoalan, karena mereka harus mendapatkan ijin dari pemerintah (dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional) untuk mengenakan kata "informasi", sementara pemerintah sendiri bersikeras bahwa nama yang resmi adalah "jurusan perpustakaan" (tanpa embel-embel informasi). Untuk menambahkan embel-embel itu, diperlukan kesepakatan bersama. Persoalannya, Pemerintah pun tidak dapat memastikan darimana atau bagaimana kesepakatan itu harus dicapai. Pada masa lampau, ada konsorsium yang membahas bidang-bidang ilmu. Itu pun seringkali tidak terlalu efektif. Sekarang, konsorsium tidak ada, apalagi kesepakatan tentang "ilmu perpustakaan dan informasi" -tidak ada sama sekali.Persoalan di atas membuktikan dengan sangat gamblang bahwa sebuah ilmu tidak melulu bergantung pada akademisi, tetapi terlebih-lebih pada masyarakat di mana ilmu tersebut akan diajarkan atau dikembangkan. Bagi perguruan tinggi yang sudah berbentuk badan hukum, penamaan "ilmu perpustakaan dan informasi" memerlukan pula kesepakatan, setidaknya dari masyarakat akademik (misalnya Senat Universitas). Bagi perguruan tinggi yang belum berbentuk badan hukum, kesepakatan itu harus lebih luas lagi. Bagi perguruan tinggi swasta, walaupun mereka lebih bebas, tetap diperlukan persetujuan setidaknya dari pemilik atau pemegang saham.Sulit menghilangkan kesan bahwa para penyelenggara perguruan tinggi ilmu perpustakaan (dan informasi) di Indonesia jarang meminta persetujuan atau dukungan dari profesi atau industri informasi itu sendiri. Jarang ada kegiatan atau langkah yang memungkinkan pendidikan tinggi profesi pustakawan dan informasi berdialog dengan pihak praktisi dan penyelenggara institusi perpustakaan dan informasi. Kalau pun ada dialog, sifatnya sporadis, tidak sistematis, dan temporer -seringkali tanpa kesepakatan atau keputusan praktis apa-apa.Dengan kata lain, persoalan penggunaan nama "ilmu perpustakaan dan informasi" oleh sekolah-sekolah di Indonesia terlalu disempitkan ke masalah administrasi perijinan formal. Seolah-olah dengan membereskan urusan administrasi, maka sekolah-sekolah itu sudah dapat menyelenggarakan pendidikan profesional dengan baik. Seolah-olah jika nama pendidikan tinggi sudah secara resmi menggunakan "ilmu informasi" maka tercapailah tujuan-tujuan industri pendidikan dan tergapailah keuntungan-keuntungan pasar (dalam bentuk jualan gelar, lengkap dengan iming-iming kemudahan mencari pekerjaan).Padahal, dunia pekerjaan dan "pasar" atau "industri informasi" di mana pun (termasuk di Indonesia) adalah dunia yang gegap gempita dan sangat dinamik sekaligus tidak-stabil (volatile). Sumber dinamika itu adalah pada sifat informasi dan teknologi-informasi. Kepustakawanan dan industri informasi di Indonesia tidak lepas dari sifat dasar informasi dan teknologi informasi, yaitu: mudah berubah, dan berubah dengan cepat. Dalam keadaan seperti ini, maka profesi informasi adalah profesi yang paling cair (fluid), fleksibel, dan sekaligus mudah usang. Kepustakawanan Indonesia sudah menjadi saksi sekaligus kuburan dari profesi yang begitu mudah disebut sebagai "penting" tetapi juga begitu murah dibayar dan diabaikan. Sementara itu, pada saat yang sama, muncul kebutuhan membludak terhadap profesi serupa yang diberinama baru seperti manajer pengetahuan (knowledge manager), web master, pengembang database (database developer), manajer rekod (record manager), manajer informasi (information manager), dan sebagainya, dan seterusnya.Bagaimana perguruan tinggi menjawab kesimpang-siuran dan gegap-gempita industri informasi ini? Apakah cukup dengan secara administratif mengganti nama menjadi "pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi"?Mungkin, iya! Dengan mengenakan kata "informasi" di dalam nama sekolah, dijamin akan ada banyak peminat. Tetapi apakah lulusan sekolah itu nanti benar-benar sanggup menghadapi dunia kerja yang "kejam" itu? Mungkin, tidak! Sebabnya adalah: pengenaan kata "ilmu informasi" di sebuah sekolah tanpa sungguh-sungguh memahami implikasi dari pengenaan label "ilmu" sama saja dengan memberikan sebuah cek kosong kepada para calon sarjana. Pengenaan label "ilmu" tanpa mengerti apa kaitan "ilmu" dan "dunia kerja" sama saja dengan menawarkan kucing di dalam karung. Suara "meong..."-nya mungkin keras, tetapi para calon-sarjana tidak tahu apakah kucing di dalamnya berwarna hitam atau putih atau keduanya.Seharusnya, ketika sekolah-sekolah di Indonesia bermaksud menggunakan kata "ilmu informasi" di dalam namanya, maka yang pertama dilakukan adalah memahami "ilmu perpustakaan dan informasi" itu serta kaitannya dengan dunia kerja dan industri informasi Indonesia. Ini yang harus dilakukan pertama untuk mendapatkan kesepakatan (dan dukungan) dari profesi dan industri informasi. Baru kemudian memformalkan kesepakatan ini ke kalangan yang lebih luas. Termasuk ke pemerintah, senat universitas, maupun pemilik universitas swasta.
Pada suatu hari di awal Maret 2006, sekelompok pengelola pendidikan pustakawan dari 13 perguruan tinggi di Indonesia berkumpul di Jakarta untuk membicarakan masa depan mereka। Ada di dalam pikiran mereka adalah nasib keseluruhan program pendidikan di bidang ini dan nasib para lulusan yang akan mengemban gelar sarjana atau diploma bidang perpustakaan. Sulit menolak kesan, bahwa yang juga ada di pikiran mereka adalah: bagaimana menghasilkan uang dari penyelenggaraan "industri pendidikan" ini -bagaimana menyelenggarakan sekolah yang dapat membayar dosen dengan wajar dan tidak melecehkan? Secara keseluruhan, memang itulah pendidikan tinggi di jaman sekarang: lulusannya harus bermutu, dosennya harus bisa hidup layak. Tidak lebih, tidak kurang.Tetapi, apa sebenarnya persoalan yang sesungguh-sungguhnya dalam pendidikan pustakawan di Indonesia? Benarkah ini hanya persoalan "industri pendidikan" dan "pasar"?Sebagian besar dari penyelenggara pendidikan D3, S1 dan S2 yang hadir dalam pertemuan itu menginginkan kata "informasi" masuk ke dalam nama departemen, program studi, atau jurusan yang mereka kelola. Secara administratif, pengenaan kata ini sebenarnya tidaklah terlalu menimbulkan persoalan. Artinya, sebagian besar penyelenggara pendidikan tinggi mempunyai otonomi untuk menentukan apa yang ingin mereka gunakan sebagai judul sekolah atau programnya. Sebagian perguruan tinggi negeri yang sudah berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN) bahkan sudah dengan sertamerta menggunakan nama yang mereka inginkan.Bagi perguruan tinggi yang belum BHMN ada sedikit persoalan, karena mereka harus mendapatkan ijin dari pemerintah (dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional) untuk mengenakan kata "informasi", sementara pemerintah sendiri bersikeras bahwa nama yang resmi adalah "jurusan perpustakaan" (tanpa embel-embel informasi). Untuk menambahkan embel-embel itu, diperlukan kesepakatan bersama. Persoalannya, Pemerintah pun tidak dapat memastikan darimana atau bagaimana kesepakatan itu harus dicapai. Pada masa lampau, ada konsorsium yang membahas bidang-bidang ilmu. Itu pun seringkali tidak terlalu efektif. Sekarang, konsorsium tidak ada, apalagi kesepakatan tentang "ilmu perpustakaan dan informasi" -tidak ada sama sekali.Persoalan di atas membuktikan dengan sangat gamblang bahwa sebuah ilmu tidak melulu bergantung pada akademisi, tetapi terlebih-lebih pada masyarakat di mana ilmu tersebut akan diajarkan atau dikembangkan. Bagi perguruan tinggi yang sudah berbentuk badan hukum, penamaan "ilmu perpustakaan dan informasi" memerlukan pula kesepakatan, setidaknya dari masyarakat akademik (misalnya Senat Universitas). Bagi perguruan tinggi yang belum berbentuk badan hukum, kesepakatan itu harus lebih luas lagi. Bagi perguruan tinggi swasta, walaupun mereka lebih bebas, tetap diperlukan persetujuan setidaknya dari pemilik atau pemegang saham.Sulit menghilangkan kesan bahwa para penyelenggara perguruan tinggi ilmu perpustakaan (dan informasi) di Indonesia jarang meminta persetujuan atau dukungan dari profesi atau industri informasi itu sendiri. Jarang ada kegiatan atau langkah yang memungkinkan pendidikan tinggi profesi pustakawan dan informasi berdialog dengan pihak praktisi dan penyelenggara institusi perpustakaan dan informasi. Kalau pun ada dialog, sifatnya sporadis, tidak sistematis, dan temporer -seringkali tanpa kesepakatan atau keputusan praktis apa-apa.Dengan kata lain, persoalan penggunaan nama "ilmu perpustakaan dan informasi" oleh sekolah-sekolah di Indonesia terlalu disempitkan ke masalah administrasi perijinan formal. Seolah-olah dengan membereskan urusan administrasi, maka sekolah-sekolah itu sudah dapat menyelenggarakan pendidikan profesional dengan baik. Seolah-olah jika nama pendidikan tinggi sudah secara resmi menggunakan "ilmu informasi" maka tercapailah tujuan-tujuan industri pendidikan dan tergapailah keuntungan-keuntungan pasar (dalam bentuk jualan gelar, lengkap dengan iming-iming kemudahan mencari pekerjaan).Padahal, dunia pekerjaan dan "pasar" atau "industri informasi" di mana pun (termasuk di Indonesia) adalah dunia yang gegap gempita dan sangat dinamik sekaligus tidak-stabil (volatile). Sumber dinamika itu adalah pada sifat informasi dan teknologi-informasi. Kepustakawanan dan industri informasi di Indonesia tidak lepas dari sifat dasar informasi dan teknologi informasi, yaitu: mudah berubah, dan berubah dengan cepat. Dalam keadaan seperti ini, maka profesi informasi adalah profesi yang paling cair (fluid), fleksibel, dan sekaligus mudah usang. Kepustakawanan Indonesia sudah menjadi saksi sekaligus kuburan dari profesi yang begitu mudah disebut sebagai "penting" tetapi juga begitu murah dibayar dan diabaikan. Sementara itu, pada saat yang sama, muncul kebutuhan membludak terhadap profesi serupa yang diberinama baru seperti manajer pengetahuan (knowledge manager), web master, pengembang database (database developer), manajer rekod (record manager), manajer informasi (information manager), dan sebagainya, dan seterusnya.Bagaimana perguruan tinggi menjawab kesimpang-siuran dan gegap-gempita industri informasi ini? Apakah cukup dengan secara administratif mengganti nama menjadi "pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi"?Mungkin, iya! Dengan mengenakan kata "informasi" di dalam nama sekolah, dijamin akan ada banyak peminat. Tetapi apakah lulusan sekolah itu nanti benar-benar sanggup menghadapi dunia kerja yang "kejam" itu? Mungkin, tidak! Sebabnya adalah: pengenaan kata "ilmu informasi" di sebuah sekolah tanpa sungguh-sungguh memahami implikasi dari pengenaan label "ilmu" sama saja dengan memberikan sebuah cek kosong kepada para calon sarjana. Pengenaan label "ilmu" tanpa mengerti apa kaitan "ilmu" dan "dunia kerja" sama saja dengan menawarkan kucing di dalam karung. Suara "meong..."-nya mungkin keras, tetapi para calon-sarjana tidak tahu apakah kucing di dalamnya berwarna hitam atau putih atau keduanya.Seharusnya, ketika sekolah-sekolah di Indonesia bermaksud menggunakan kata "ilmu informasi" di dalam namanya, maka yang pertama dilakukan adalah memahami "ilmu perpustakaan dan informasi" itu serta kaitannya dengan dunia kerja dan industri informasi Indonesia. Ini yang harus dilakukan pertama untuk mendapatkan kesepakatan (dan dukungan) dari profesi dan industri informasi. Baru kemudian memformalkan kesepakatan ini ke kalangan yang lebih luas. Termasuk ke pemerintah, senat universitas, maupun pemilik universitas swasta.
by Putu Laxman Pendit दिएदित tarto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar