Rabu, 02 Januari 2008

UNESCO dan Kepustakawanan Indonesia - berhasil atau gagal?

UNESCO dan Kepustakawanan Indonesia - berhasil atau gagal?
Perang Dunia II menghancurkan banyak negara, tetapi pada saat bersamaan melahirkan negara-negara baru yang membebaskan diri dari belengu kolonialisme. Ketika perang usai, secara internasional timbul kesadaran untuk menciptakan tata dunia baru yang memungkinkan semua bangsa mengembangkan diri secara sejajar. Pendirian Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) dan badan khusus untuk masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO) merupakan cermin dari kesadaran itu. Segera saja, UNESCO menjadi salah satu saluran bagi penyebaran prinsip perpustakaan umum negara-negara Anglo-Saxon yang memenangkan PD II, terutama di Inggris dan AS.Dalam bukunya, Parker (1985) secara sangat terinci dan menarik mengungkapkan peran UNESCO dalam perkembangan perpustakaan umum di seluruh dunia. Satu hal yang segera terlihat dari paparan sejarah ini adalah kenyataan bahwa konsep perpustakaan umum yang dikembangkan oleh UNESCO sebenarnya adalah konsep Inggris dan AS, ditambah sedikit konsep dari negara-negara Skandinavia. Juga segera terlihat bahwa pada awalnya UNESCO terlalu ambisius dalam merancang perencanaan arah pengembangan perpustakaan umum yang universal. Bahkan, salah satu rencana mereka untuk mendirikan sebuah pusat koleksi dunia berkesan sangat otoriter selain juga mustahil, karena bermaksud menghimpun semua karya-karya terbaik dari berbagai negara di sebuah "perpustakaan dunia".Namun tidak dapat dipungkiri bahwa UNESCO sangat berjasa dalam membantu negara-negara yang hancur karena perang di Eropa (termasuk Itali, Belanda, dan negara-negara Eropa Timur) serta negara-negara berkembang yang baru merdeka di Asia dan Afrika (termasuk Indonesia, yang adalah salah satu negara penerima bantuan terbesar dalam bidang perpustakaan dari UNESCO). Bantuan ini terbagi terdiri dari dua bagian utama, yaitu bantuan berupa pengembangan pemikiran kepustakawanan lewat pendidikan formal maupun informal terhadap ratusan pustakawan negara berkembang, dan bantuan infrastruktur perpustakaan serta pengadaan koleksinya.Titik tolak keseriusan UNESCO dalam membantu pengembangan perpustakaan umum di seluruh dunia dapat dilihat dari dua aktivitas awalnya, yaitu proyek pengembangan perpustakaan dan pendidikan di Haiti (dikenal sebagai Marbial Valley Project di tahun 1948), dan sebuah seminar di Swedia, yaitu Malmö Seminar di tahun 1950. Kegiatan di Haiti memberikan pelajaran sangat berharga bagi UNESCO, bukan karena keberhasilannya, melainkan karena hambatan-hambatan yang muncul dari resistensi lokal dan ketidak-siapan konsultan-konsultan UNESCO berhadapan dengan kultur Haiti. Sedangkan Malmö Seminar yang dihadiri utusan dari 20 negara termasuk India, Venezuela, Argentina, Ceylon (kini Sri Lanka), Kolombia, Mesir, dan Tunisia, merupakan koreksi dari seminar sebelumnya di London, Inggris yang didominasi peserta dari Eropa. Proyek di Haiti menjadi patokan bagi proyek-proyek selanjutnya di berbagai negara. Seminar di Swedia menjadi patokan bagi kegiatan pendidikan pustakawan negara-negara berkembang, tidak saja dalam hal prinsip-prinsip perpustakaan umum tetapi juga dalam hal-hal teknis seperti pembuatan bibliografi nasional dan pengatalogan.UNESCO juga menyebarkan pola-pola perencanaan pengembangan perpustakaan umum (public library development planning) yang membawa pemikiran-pemikiran modern dari negara-negara industri ke negara-negara yang baru merdeka. Selain itu, sebagai salah satu pelajaran yang ditarik dari kegagalan proyek di Haiti, UNESCO juga menerapkan pendekatan pilot project, dimulai dari sebuah proyek di New Delhi, ibukota India di tahun 1951. Tiga tahun kemudian, pendekatan ini dipakai pula untuk membangun perpustakaan umum di Medellin, Kolombia. Kedua pilot projects ini dianggap berhasil karena menumbuhkan kebiasaan mengunjungi perpustakaan di negara-negara tersebut, walaupun kritikus mengatakan pula bahwa kedua proyek tersebut tidak dapat mewujudkan prinsip awal pelaksanaanya, yakni mengembangkan perpustakaan model lokal (bukan model Anglo-Saxon) dan tidak bergantung kepada bantuan UNESCO. Setelah berbagai proyek di berbagai negara (termasuk negara-negara sangat miskin di Afrika), pendekatan pilot project ini dihentikan. UNESCO menggantinya dengan pendekatan yang lebih menekankan pada integrasi pengembangan perpustakaan umum ke dalam pengembangan infrastruktur pendidikan dan informasi secara nasional. Dengan pendekatan baru ini, UNESCO kemudian mulai mengirimkan berbagai utusan (atau misi) ke berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk membantu pemerintah negara-negara tersebut menyusun kebijakan pengembangan perpustakaan yang lebih komprehensif dan tidak hanya berpaku pada perpustakaan umum.Dalam perkembangan selanjutnya, walaupun UNESCO mengeluarkan Manifesto Perpustakaan Umum yang menjadi dasar hukum bagi banyak peraturan perpustakaan di negara-negara dunia ketiga, lembaga PBB ini tidak lagi berkonsentrasi kepada perpustakaan umum. Bahkan konsentrasi UNESCO di bidang informasi secara keseluruhan semakin lama semakin melebar, mencakup tidak saja perpustakaan, tetapi juga dokumentasi dan kearsipan. Lalu, ketika teknologi informasi mulai menampakkan perannya, berbagai proyek tentang jaringan informasi ilmiah mendapat perhatian yang lebih besar daripada proyek perpustakaan umum. Sampai akhirnya, pada akhir era 1970-an, bantuan-bantuan UNESCO untuk perpustakaan umum menjadi sangat kecil, kalau tidak dapat dikatakan berhenti sama sekali. Prestasi terbesar UNESCO tentu saja adalah keberhasilan mengangkat isu perpustakaan umum ke tingkat internasional dan menjadikan motivasi penyediaan bacaan bagi semua orang sebagai aspirasi universal. Namun UNESCO dapat juga dikatakan tidak terlalu berhasil menumbuhkan aspirasi lokal dan boleh dikatakan gagal dalam mendorong negara-negara berkembang membangun sendiri budaya perpustakaan umum mereka yang tidak harus selalu sama dengan budaya Anglo-Saxon. Bacaan:Parker, Stephen J. (1985). UNESCO and Library Development Planning, London : the Library Association.

Tidak ada komentar: