Jumat, 04 Januari 2008

Membedah Takdir

Membedah Takdir

Kata “takdir” sudah menjadi kata yang sangat akrab bagi orang Indonesia. Kata itu berasal dari bahasa Arab, yang kemudian diindonesiakan dan sangat akrab diucapkan. Keakraban dalam mengucapkannya ternyata tidak seiring dengan daya pemahaman orang terhadap makna kata itu, sehingga kata itu sering kali disalahpahami. Banyak faktor yang menyebabkannya, terutama karena faktor kemalasan untuk menulusuri makna kata secara definitif-ilmiah. Kalaupun ada upaya mendefinisikannya, prosesnya sangat rumit dan cenderung dibungkus dengan sakralisasi. Karena bicara soal takdir dianggap sebagai sesuatu yang berhubungan langsung dengan Tuhan. Akibatnya, kata itu seringkali digunakan untuk sesuatu yang tidak sesuai pada tempatnya.

Dalam nomenklatur keagamaan (Islam), kata takdir seringkali diartikan sebagai ketentuan Tuhan. Ketentuan yang mana dan yang bagaimana? Ini yang jarang dijelaskan oleh para pemuka agama. Akhirnya masyarakat berjalan sendiri-sendiri dalam memahami makna takdir tersebut, dan takdir lebih dipahami sebagai ketentuan Tuhan yang aktif dan dan berlaku dalam setiap aspek kehidupan, hingga manusia tidak memiliki kebebasan seditkitpun untuk menentukan kondisi dirinya. Implikasinya sangat dahsyat. Sialnya yang terjadi justru implikasi dalam pengertian yang negatif.

Seseorang yang mengalami kesulitan ekonomi dalam hidupnya, akan mudah mengatakan bahwa ini adalah takdir Tuhan. Dengan kesadaran (keliru) ini, masalah kesulitan ekonomi dianggap telah selesai; kepasrahan hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit dianggap sebagai sikap keberagamaan yang baik, karena berarti menerima takdir Tuhan. Padahal, kesulitan ekonomi yang dialami oleh seseorang sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai takdir Tuhan. Justru hal itu terjadi karena sikap lari dari takdir Tuhan: enggan menapaki anak tangga untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

Banyak hal yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan ekonomi dalam hidupnya: tingkat pendidikan yang rendah, tidak memiliki keterampilan kerja, mental yang lemah, kondisi sosial-ekonomi yang dipersulit dan lain-lain. Kelemahan mental tidak jarang juga dipengaruhi oleh kesalahan dalam memahami kata takdir. Bahkan, sebagian orang menganggap keseriusan dalam usaha memperbaiki kehidupan ekonomi sebagai upaya yang akan menjauhkan diri dari keberagamaan. Dengan kata lain, upaya ini dianggap sebagai sikap kurang pasrah terhadap takdir. Racun jadinya!

Ada cara mudah dalam memahami kata takdir dengan baik. Baik, dalam artian pemahaman itu akan mendorong manusia untuk berusaha lebih keras dalam hidupnya dan sama sekali tidak dirasakan sebagai “tidak pasrah” terhadap takdir Tuhan. Caranya: kata takdir memiliki makna aturan yang tidak akan berubah. Kemudian dalam kenyataan hidup ini, setiap aturan yang tidak dapat diubah (dalam pengertian yang sebenarnya) itulah takdir.

Dalam al-Quran, kata takdir selalu dikaitkan dengan ketentuan Tuhan yang tidak pernah berubah. Ambil contoh ayat 38 yang terdapat dalam surah Yâsîn: Dan matahari bergerak di tempat peredarannya. Itulah ketetapan (takdîr) yang Maha Kuat dan Maha Mengetahui. Pada ayat selanjutnya, ayat 39, Allah berfirman: Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, hingga (setelah sampai pada tempat peredaran yang terakhir) ia kembali seperti bentuk tandan yang tua.

Dua ayat di atas menggunakan kata takdir (taqdîr pada ayat pertama, dan qaddara pada ayat kedua) untuk menunjukkan ketetapan yang tidak akan berubah. Jelas dikatakan bahwa matahari bergerak di tempat peredarannya. Ketetapan ini tidak akan pernah berubah sampai hari Kiamat. Contoh lain dari takdir adalah: air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah (gravitasi), setiap orang pasti mati, dan hukum alam atau hukum sosial lainnya yang sangat dekat dengan kehidupan manusia.

Tidak salah jika dikatakan bahwa manusia tidak akan pernah terhindar dari takdir dalam hidup ini. Tapi jelas, sekali lagi, takdir yang dimaksud adalah ketetapan Tuhan yang tidak bisa berubah atau diubah oleh manusia. Seluruh takdir Tuhan akan bersifat linear. Tidak sedikit pun ada perubahan dan pergeseran dalam takdir.

Jadi, takdir sama sekali tidak ada hubungannya dengan kondisi ekonomi seseorang, tingkat kecerdasan atau hal lain yang dapat diubah oleh manusia. Tuhan harus dipahami sebagai Zat yang tidak pernah mentakdirkan bahwa seseorang harus hidup dalam kondisi miskin, bodoh dan tertindas. Kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan adalah ulah tangan manusia. Justru melawan itu semua adalah takdir sosial yang harus dilakukan oleh siapapun. Menghindarinya adalah melawan takdir, dan tidak dikehendaki oleh Tuhan. Tuhan mentakdirkan bahwa manusia bisa menjadi orang kaya, pintar dan merdeka, dan Tuhan sangat menganjurkan hal itu, jika tidak ingin mengatakan diwajibkan.

Gempa dan Takdir

Pasca terjadinya gempa bumi di Jogjakarta dan sekitarnya, keprihatinan begitu mendalam dirasakan oleh seluruh bangsa Indanesia. Semua orang ikut berduka dan membicarakan musibah ini. Yang sangat disayangkan, sebagian tokoh agama terkesan asal bicara dalam mengomentari kasus gempa bumi ini. Sebagian mereka menganggap terjadinya gempa bumi adalah bentuk perbuatan aktif Tuhan terhadap alam raya. Gempa bumi dianggap sebagai cobaan, ujian, bahkan lebih mengerikan: adzab dari Tuhan. Pertanyaannya: Mengapa Tuhan begitu tega menghacurkan alam ini?

Pertayaan di atas akan melahirkan jawaban teologis yang membingungkan, jika harus dijawab dengan paradigma teosentris, di mana Tuhan dapat melakukan apapun yang Ia kehendaki, kemudian manusia mencari seribu satu alasan untuk tetap mensucikan-Nya. Yang terjadi kemudian adalah ketidakmampuan kita mengidentifikasi gejala alam secara rasional. Kebodohan menyebar dan kepuasan awam menjadi tujuan.

Gempa bumi sejatinya adalah gejala alam yang bisa jadi dipengaruhi oleh sikap manusia dalam merpergauli alam ini. Ketidakramahan kita terhadap lingkungan, tentu akan merusak ekosistem yang membuatnya berjalan di luar garis-garis kebaikan. Gempa bumi harus dipahami sebagai rusaknya tatanan ekologi yang merupakan akibat dari ulah tangan manusia: penebangan hutan secara liar, perang, pengeboran bumi dan seterusnya. Mereka yang menguasai ekologi, geologi dan fisika, tentu harus diberikan tempat untuk menjelaskan semua ini. Bukan mereka yang hanya pandai menyitir ayat-ayat atau hadis-hadis.

Gempa bumi bukan akibat dosa manusia dalam pengertian yang sangat normatif. Gempa bumi adalah akibat dosa kita dalam meperlakukan alam raya ini. Alam raya ini diciptakan dengan berbagai takdir (aturan) yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap takdir alam raya akan mengakibatkan kerusakan bagi semua.

Oleh karenanya, tobat yang harus dilakukan adalah: berhenti memerlakukan alam dengan cara yang eksploitatif. Perlakukan alam ini sebagai sahabat, maka ia akan memberikan kehangatan bagi kita semua.

Tidak ada komentar: