Jumat, 04 Januari 2008

Pasca Gempa

Tangguh di Tengah Musibah

Paska musibah gempa di Wilayah DIY dan sekitarnya, sampai dini hari (07/06/06) aktifitas kehidupan nampak masih lumpuh. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya pertokoan dan kantor-kantor instansi yang masih tutup. Tapi tidak bagi Pak Darso (62 tahun), meski ia masih trauma dan sering ngeliyer akibat tragedi gempa kemarin. Warga Desa Jetis-Bajang, Pandak, Kabupaten Bantul ini, sejak empat hari setelah gempa, sudah mulai ke sawah seperti biasanya. Ia mengatakan bahwa gempa yang terjadi kemarin membuat sawahnya yang baru ditanam padi, tak mendapatkan irigasi (kekeringan).

Ia datang ke sawah karena teringat dengan bibit padi yang harus mendapatkan aliran air, jika tidak, bibit padi itu bisa menguning dan mati. "Sejak tiga hari setelah gempa, rumahku yang rata dengan tanah, secara gotong royong sudah kami bersihkan. Kalau terus-terusan kita meratapi rumah yang hancur, nanti sawahnya gak keurus", katanya dengan sedikit terbata karena menahan batuk dan kerapuhan tubuh renta dimakan usia. "Lah, untuk apa diratapi, wong semua sudah terjadi. Mau nangis juga tetap saja hancur. Dari pada meratap terus, lebih baik ke sawah, semua masalah di rumah jadi lupa. Aku sudah pasrah sama Gusti Allah", imbuhnya dengan pasrah.

Demikian juga Parno (59 tahun), warga Jetis-Bajang, ketika ditemui di pinggir sungai (tempat irigasi), ia mengatakan bahwa gempa kemarin itu menyebabkan banyak sungai-sungai mampet, tak mengalir, karena rusak, atau terkena timbunan tembok. Makanya, ia terus berbenah di sungai yang menjulur di sepanjang pinggiran desanya.

Sementara itu, di tempat terpisah tak jauh dari desa Jetis, Ny. Ngasinah (57 tahun), warga Dusun Krapakan, Caturharjo, Pandak, Kabupaten bantul, sejak minggu (05/06) sudah mulai menjajakan telor asin di sekeliling desa. Meski belum bisa memasak telor asin sendiri karena rumah dan dapurnya roboh, ia tetap bersyukur bisa jualan, dan ada orderan telor asin dari temannya di Pasar Bringharjo. "Syukur masih ada teman yang setor telor", katanya. Ia terus menjajakan telor asin karena merasa terpanggil oleh para pelanggan. "Banyak langganan yang bertanya-tanya, mana telor asinnya, sebab kebanyakan sudah mulai bosan dengan mie instan bantuan", jelasnya.

Pak Darso, Parno dan Ny. Ngasinah, merupakan potret manusia yang tangguh. Di tengah tragedi gempa yang memporak-porandakan rumah dan kehidupannya, ia tetap tegar dan kembali bangkit meneruskan liku hidupnya. Ketiga orang itu, secara fisik dan mental telah berhasil mengambil sikap dengan cepat manakala bencana itu datang. Sebab bukankah musibah sudah menjadi bagian dari hidup kita. Maka kisah kedua orang ini, mungkin bisa memberikan teladan bagi kita, bahwa seberat apapun musibah, kita tak boleh kehilangan semangat apalagi berputus asa. Bukankah hidup ini sungguh sangat rentan terhadap bencana?. Dan, kiranya pendapat al-Qarni (Penulis buku, La Tahzan), patut kita renungkan lebih dalam, "Setiap bencana akan menjadi karunia bagi kita, dan percalah setiap ujian akan meretas menjadi semacam anugerah". (Ahmad Muzaki, Alumni Ponpes Al-Munawwir Kerapyak, tinggal di Bantul).

Tidak ada komentar: