Rabu, 16 Januari 2008

Buku, Perpustakaan dan Kita

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan-Mulah yang maha Mulia. Yang mengajar
manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(Surah Al ‘Alaq, 96:1-5)

Inilah wahyu pertama Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW yakni *Iqro!*(Bacalah!). Tersirat bahwa aktivitas membaca adalah hajat manusia sepanjang zaman. Hajat yang mesti dipenuhi dengan memadai demi keparipurnaan manusia sebagai *khalifah fil ardh* (pemimpin di muka bumi). Tak heran bila para pemimpin dunia maupun tokoh-tokoh terkemuka yang kita kenal adalah orang-orang yang gemar membaca. Misalnya, Bung Hatta, yang ketika diasingkan ke Pulau Banda tak lupa membawa serta satu lemari besar buku-bukunya.Abraham Maslow, sang psikolog Amerika yang menggagas teori hirarki
Kebutuhan adalah anak yang besar di perpustakaan semasa kecilnya karena ia
Dikucilkan dari pergaulan karena tampangnya yang tidak keren. Namun, amat disayangkan budaya baca bangsa Indonesia secara umum belum setara dengan kegemaran masyarakatnya nonton dan *ngobrol*. Terlepas dari besarnya pajak buku dan variatifnya acara TV minat baca masyarakat memang relatif menyedihkan. Membludagnya pengunjung pameran buku dalam sebuah *event* tertentu mungkin sebuah pengecualian. Tetapi dalam keseharian budaya * ngobrol* masih sangat dominan. Sangat jarang, misalnya, di tempat-tempat
umum kita jumpai orang duduk membaca sambil menunggu kereta atau bus.
Kalaupun ada, umumnya para pelajar atau mahasiswa yang *kebelet* ujian.
Selebihnya hanyalah obrolan *ngalor-ngidul* yang kita lakukan.

Padahal sejarah mengajarkan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang yg gemar membaca. Karena otomatis kecerdasan dan wawasan iptek kian bertambah sehingga terjadi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang diperlukan untuk upaya pembangunan yang berkesinambungan. Marilah berkaca pada Jepang yang pada masa Restorasi Meiji (tahun 1800-an) melakukan program penerjemahan buku besar-besaran. Buku-buku yang pekan ini terbit di Amerika, negara adikuasa yang mengalahkan sekaligus menjadi induk semang Jepang pasca Perang Dunia II, pada pekan berikutnya sudah terbit di Jepang dalam versi terjemahannya. Alhasil, Jepang sangat cepat menyerap teknologi dan
inovasi mutakhir dari negara-negara Barat dan tumbuh pesat setelah luluh-lantak dibom atom pada 1945 menjadi pesaing ekonomi Amerika mulai 1960an hingga saat ini. Lantas, jika tingginya tingkat minat baca terkait erat dengan kualitas SDM, patutlah kita merenung apakah masyarakat kita dapat digolongkan sebagai *reading society* (masyarakat yang membaca) seperti negara-negara maju yang kerap kita jadikan rujukan?

Perpustakaan
Setali tiga uang dengan nasib buku, perpustakaan tampaknya belum populer di mata masyarakat. Dapat dibandingkan, misalnya, frekuensi kunjungan anak muda sebagai tulang punggung bangsa ke *mall* atau rental *playstation*dibandingkan ke perpustakaan, yang mana yang lebih tinggi? Atau berapa banyak koleksi kaset lagu yang mereka miliki dibandingkan koleksi buku?

Beberapa tahun lalu, Prof. Andi Hakim Nasution dalam salah satu tulisannya pernah merasa iri luar biasa ketika beliau mengunjungi sebuah kampus di Malaysia dan menginap di dalam lingkungan kampus. Pakar statistika ini mendengar derap kaki serombongan mahasiswa yang baru pulang dari perpustakaan universitas pukul 12 malam. Tulisnya, pernahkah hal ini terjadi di perpustakaan universitas di Indonesia?

Di samping itu, selain “rabun membaca dan lumpuh menulis”—meminjam Istilah penyair Taufik Ismail—kita juga tak cakap merawat dan mengabadikan karya-karya besar cendekiawan dan pujangga masa lalu. Contohnya, bila kita ingin menelusuri khazanah keilmuan masa lalu yang lebih banyak tertulis dalam aksara Arab Melayu atau Arab Jawa, kita mesti terbang ke Universitas Leiden di Belanda yang koleksi naskah kuno asal Indonesianya mencapai 1650 manuskrip dalam kondisi asli yang terawat baik. Bandingkan dengan koleksi naskah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang berjumlah 955 buah dan sebagian besar dalam bentuk fotokopian.

Tak heran jika hasil penelitian tim dari Universitas Indonesia (UI) pada 1995 mengungkapkan sekitar 20% dari 1500 naskah beraksara Arab Melayu di Kesultanan Cirebon hancur dan tak bisa dimanfaatkan lagi. Di Kesultanan Yogya, 10 persen naskah kuno beraksara Arab Jawa rusak. Padahal di masa lalu, saat kejayaan Kerajaan Demak maupun Samudra Pasai yang bahkan disegani Kerajaan Inggris dan Turki, aksara Arab Melayu berperan besar menjadi bahasa pendidikan dan literasi di Nusantara baik agama maupun permasalahan umum yang melahirkan demikian banyak ulama berkaliber internasional dari Indonesia yang berkibar di dunia Islam.

Syekh Yusuf yang menyebarkan Islam di Afrika Selatan dan diangkat sebagai pahlawan nasional negara tersebut oleh Presiden Nelson Mandella dan Syekh Nawawi Al Bantani, sang putera Banten yang menjadi salah satu imam Besar Masjidil Haram dan guru para syekh di Mekah adalah sebagian kecil contoh coretan tinta emas sejarah tersebut. Termasuk tokoh-tokoh perjuangan bangsa yang dibesarkan dengan pola pendidikan beraksara Arab Melayu seperti Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Mohammad Natsir atau Haji Agus Salim.

Air mata ini akan kian deras mengucur bila kita kian dalam berintrospeksi diri. Teramat suram masa depan bangsa jika kita terutama generasi muda sebagai tulang punggung bangsa buta sejarah keilmuan masa lalu atau gagap mengejar kemajuan teknologi mutakhir hanya karena malas membaca. Kita tak bakal bisa menjadi majikan di rumah sendiri jika kondisi ini stagnan bahkan saat globalisasi besar-besaran pada penghujung 2010 kelak. Kita hanya akan jadi babu di dapur rumah sendiri atau terus-terusan mengekspor TKI ke luar negeri. Kita hanya akan jadi—meminjam istilah Bung Karno—*nation of coolie*, bangsa kuli. Relakah kita?

Pemerintah sudah wajib hukumnya mengeluarkan sekaligus mengaplikasikan (ini yang penting!) kebijakan yang mendorong tumbuhnya minat baca masyarakat—seperti janji-janji kampanyenya untuk memperhatikan pendidikan—seperti kebijakan *intellectual tax* (pajak intelektual) yakni pemberlakuan pajak khusus untuk buku dan materi-materi intelektual lainnya dengan persentase rendah bahkan nol persen. Langkah ini pernah diterapkan Presiden Soekarno yang pecinta buku semasa Orde Lama.

Sepertinya langkah tersebut masih terkesan “mewah” di tengah kondisi APBN yang sempoyongan dihajar krisis energi dunia dan korupsi serta lilitan hutang negara. Namun gebrakan jaringan perpustakaan pemerintah di DKI Jakarta termasuk Perpustakaan Umum Daerah Soemantri Brojonegoro di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, untuk buka dan melayani masyarakat hingga pukul delapan malam *non-stop* tanpa libur termasuk hari Ahad patut diapresiasi sebagai langkah awalnya. Jam buka perpustakaan yang panjang memang sedikit banyak dapat memfasilitasi minat baca masyarakat terutama kalangan pekerja yang tak punya banyak waktu di hari kerja. Minimal langkah tersebut berguna sebagai awal menipiskan ketertinggalan kita dengan negara jiran kita seperti Malaysia dan Singapura. Pemda DKI juga belum selayaknya berpuas diri karena masih banyak hal yang perlu dibenahi seperti infrastruktur dan fasilitas pendukung seperti jaringan internet, katalog, pusat edukasi buku yang memadai serta promosi luas di semua kalangan masyarakat tentang keberadaan dan layanan perpustakaan.

Gebrakan lain adalah inisiatif dari kalangan praktisi perbukuan yang berkolaborasi dengan pemerintah untuk mengelola sebuah perpustakaan Library@Senayan (hibah dari perpustakaan *British Council*) di gedung Departemen Pendidikan Nasional, Jl. Jendral Sudirman, yang memnberikan layanan lengkap dari buku-buku berbahasa asing sampai peminjaman materi audio-visual. Inilah kesempatan luas bagi warga khususnya DKI Jakarta untuk mengakses bahan bacaan gratis—yang merupakan hak mereka sebagai pembayar pajak–di tengah tingginya harga-harga barang.

Semoga saja dengan adanya otonomi daerah yang *notabene* lebih Kompetitif para pejabat pemerintah daerah lain di Indonesia merasa “cemburu”. Bentuk kecemburuan inilah yang diharapkan dapat merangsang inisiatif serupa di daerahnya masing-masing. Ini bukan masalah dana sesungguhnya. Ini masalah kemauan. *When there’s a will there is a way. *APBD DKI Jakarta bukan yang terbesar di Indonesia. Ada banyak provinsi lain bahkan kabupaten seperti Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur—dengan kekayaan sumber daya alamnya–yang jauh lebih besar yang lebih memadai untuk menyediakan perpustakaan-perpustakaan yang representatif bagi publik. Masalahnya adakah kesadaran politik mereka untuk menghapus sindiran salah seorang mantan presiden sebuah negara di Afrika bahwa “pemerintah selalu punya uang untuksepatu orang kaya namun selalu pailit untuk periuk nasi (baca: hajat hidup) orang miskin”?

Jika seruan ini sayup-sayup saja di telinga mereka atau justru hanya bergema sia-sia, marilah kita mulai dari diri sendiri, saat ini dan dari yang kecil. Misalnya, kita bangun perpustakaan pribadi di rumah dengan seberapapun jumlah buku yang ada atau bergabung dengan komunitas buku yang kerap punya acara menyumbangkan buku bagi kalangan tak berpunya. Keberadaan sebuah Pondok Baca atau apapun namanya adalah hak mendasar peradaban manusia. Karena, seperti kata Mark Twain, orang yang bisa membaca tapi tidak
Membaca buku sama nilainya seperti orang yang buta huruf. Pepatah Cina mengatakan, “Jangan mengutuk kegelapan. Mulailah dengan menyalakan sebatang lilin.”
*

*) dengan sedikit revisi, tulisan ini pernah dimuat di situs
www.rumahdunia.net.
http://jaen2006.wordpress.com/2007/05/10/buku-perpustakaan-dan-kita/#more-70

Tidak ada komentar: