Rabu, 16 Januari 2008

Kepustakawanan Alternatif (Alternative Librarianship)



KEPUSTAKAWANAN ALTERNATIF *)
Melling Simanjuntak
AbstrakRata Kiri Kanan
Meluasnya pengguna teknologi informasi di kalangan masyarakat dewasa ini menuntut
pustakawan untuk rela meninjau kembali dan merevisi paradigma maupun praktekpraktek
kepustakawanan yang dianut selama ini. Perubahan-perubahan perlu dilakukan
secara holistik dan menyangkut berbagai aspek termasuk manajerial dan mental tetapi
dengan tetap menyadari ketakseragaman level teknologi informasi bermacam
perpustakaan di berbagai penjuru negeri. Hasil yang diidamkan adalah kepustakawanan
yang akomodatif terhadap perkembangan teknologi informasi tetapi dalam baktinya
tetap sadar dan hirau akan sebagian perpustakaan yang memang masih harus
beroperasi secara tradisional. Kepustakawanan seperti ini merupakan alternatif untuk
menangkal marginalisasi profesi sekaligus meningkatkan kepustakawanan tanpa
melupakan dan meninggalkan realita.
*****
“Knowledge is of two kinds. We know a subject ourselves, or we
know where we can find information upon it.”
Samuel Johnson ( 1709-1784), menulis kata-kata bijak di atas pada 18 April1775,
atau 120 tahun sebelum Alexander Graham Bell (1847-1922) mencipta pesawat telepon
pada 1876 dan hampir satu setengah abad sebelum J. Presper Eckert dan John W.
Mauchly dari University of Pennsylvania merampungkan ENIAC, komputer pertama.
Sekarang, atau lebih dua abad sejak dituliskan dan ketika informasi, telepon dan
komputer telah menjadi subsistem dari suatu sistem informasi yang mendunia, kebenaran
kata-kata Samuel Johnson tidak berubah: " Ada dua jenis pengetahuan. Kita tahu
subjeknya, atau kita tahu di mana kita memperoleh informasi tentang subjek itu.” Yang
telah berubah, atau setidaknya mulai berubah, adalah jenis pengetahuan yang dibutuhkan
untuk dapat memperoleh informasi yang dimaksud. Perubahan itu akibat meningkatnya
penggunaan teknologi informasi oleh masyarakat, termasuk peningkatan pemanfaatan
teknologi komputer untuk menyimpan informasi.
*) Makalah ini pernah disampaikan pada Kongress Nasional Ikatan Pustakawan Indonesia di
Jakarta, Nopember 1995.
2
Kemapanan kertas sebagai media informasi selama ratusan tahun kini ditantang
oleh cakram maupun pita magnetis dan optis yang menawarkan cara yang berbeda dalam
menyimpan dan menemukan kembali informasi. Media altematif ini membuat kepustakawanan--
yang tumbuh, berkembang, dan dikembangkan menurut karakteristik media cetak
seperti buku, majalah, dan surat kabar—perlu disesuaikan.
Paradigma atau pola pikir yang berlaku bagi kepustakawanan kertas tidak selalu
berlaku bagi kepustakawanan magnetis/optis. Hal ini perlu mendapat perhatian
mengingat informasi digital tumbuh dengan pesat dan semakin mengimbangi informasi
cetak sehingga perlu dicari atau dibentuk pola pikir yang tepat untuk kepustakawanan
elektronik sebagai pola pikir altematif.
Makalah ini dimaksudkan untuk meninjau perkembangan pemakaian teknologi
informasi di Indonesia dari sudut pandang pustakawan seraya berupaya melihat dampak
potensialnya terhadap profesi pustakawan, lalu membahas beberapa paradigma yang
mungkin tidak sesuai dengan lingkungan informasi digital dan perpustakaan virtual.
DIGITALISASI INFORMASI
Format elektronik pada media magnetik mulai mendampingi format cetak pada
media kertas ketika sejumlah pangkalan data online didirikan pada pertengahan tahun
enampuluhan. Media optik menyusul pada pertengahan delapan puluhan dengan terbitnya
sejumlah CD-ROM (Compact Disk-Read Only Memory). Digitalisasi informasi semakin
laju pada akhir delapan puluhan dan berlanjut hingga detik ini. Secara berangsur format
elektronik semakin populer dan koeksis dengan format cetak. Laju pertumbuhan
informasi yang ekponensial di satu sisi, serta meningkatnya kemampuan teknologi
informasi, turunnya biaya penyimpanan, pengolahan, dan penyebaran informasi dengan
komputer di sisi lain, ikut mendorong digitalisasi tersebut.
Pada tahap awal perkembangannya, format elektronik--maknetik dan optik--
umumnya baru digunakan untuk menyimpan informasi sekunder seperti bibliografi dan
indeks. Baru pada perkembangan selanjutnya format elektronik mencakup teks penuh
(fulltext) informasi primer, terutama artikel majalah. Dialog, BRS, Lexis-Nexis,
merupakan pangkalan data yang sudah menyediakan teks lengkap artikel-artikel majalah
secara online. Disebut sebagai jurnal elektronik, teks lengkap yang tersedia secara online
ini (dan belakangan tersedia dalam CD-ROM) umumnya terdiri dari teks saja dan tidak
memuat citra (gambar, grafik, ilustrasi, dsb) yang terdapat pada naskah cetaknya. Baru
pada perkembangan lebih lanjut lagi, jurnal elektronik memuat citra penuh, atau fullimage,
sehingga tampilannya pada layar komputer terlihat persis seperti versi cetaknya,
dan hasil cetaknya terlihat seperti hasil fotokopi dar artikel aslinya. Beberapa contoh
jurnal elektronik citra penuh adalah GPO ProQuest dari UMI dan Adonis dari
konsorsium sepuluh penerbit Eropa.
PERPUSTAKAAN DIGITAL DAN VIRTUAL
3
Digitalisasi informasi oleh perpustakaan dan pusat informasi di Indonesia dimulai
pada awal 80an ketika sejumlah perpustakaan unggul mulai menggunakan komputer
sebagai sarana penyimpanan dan pengolahan informasi. Dewasa ini boleh dikatakan
bahwa sebagian besar perpustakaan telah menggunakan komputer dan mempunyai
sumber informasi dalam format elektronik. Beberapa perpustakaan bahkan mempunyai
lebih banyak sumber informasi format elektronik daripada sumber informasi format
cetak. Perpustakaan seperti ini yang lebih mengandalkan informasi-informasi digital,
disebut perpustakaan digital. Puluhan ribu perpustakaan dan pusat informasi yang berisi
tak terhingga sumber informasi ini saling terhubung melalui Internet dan dimanfaatkan
oleh ratusan juta pemakai, individu atau organisasi (Garret), membentuk suatu sistem
informasi amat besar dan sering disebut perpustakaan virtual. Konsep perpustakaan
virtual pada dasarnya adalah akses jarak jauh ke isi dan layanan perpustakaan dan
sumber-sumber informasi lain, baik bahan-bahan cetak maupun elektronik. Perpustakaan
dan sumber-sumber informasi ini tersambung ke jaringan elektronik yang memungkinkan
akses ke, dan mengambil informasi dari perpustakaan dan sumber-sumber lain di seluruh
dunia (Gapen).
Internet, yang dijuluki sebagai jaringan dari semua-iaringan meski baru tersedia
secara lebih luas dalam beberapa tahun terakhir, dengan cepat meraih popularitas
dikalangan pencari maupun penjual informasi. Di Indonesia dewasa ini terdapat sekitar
15.000 pelanggan akses ke Internet melalui 5 access providers yang ada, dan angka itu
terus bertambah. Jumlah pemakai Internet diperkirakan bisa mencapai satu setengah atau
dua kali lebih banyak dari jumlah pelanggan mengingat bahwa satu keanggotaan
mungkin dipergunakan oleh lebih dari satu orang sebagaimana halnya satu surat kabar
langganan dibaca oleh beberapa orang.
Belum dapat diketahui bagaimana para pelanggan akses Internet memanfaatkan
jaringan informasi global ini. Seseorang dari kantor berita Reuter baru-baru ini
menyebarkan melalui Internet daftar pertanyaan untuk mengetahui pemanfaatan Internet
tentang Indonesia dan oleh pelanggan di Indonesia. Daftar pertanyaan yang disebarkan
melalui milis 'Apakabar' (dan mungkin juga melalui milis lain) ini akan mampu
menjawab pertanyaan tersebut. Namun secara umum pemakaian Internet dapat dibagi
dalam tiga level, yakni level komunikasi fundamental, level komunikasi interaktif, dan
level lanjut (Reid). Pada level fundamental Internet digunakan untuk berkirim surat
elektronik atau e-mail, fungsi paling sederhana dari Internet, dan menurut suatu
penelitian yang dilakukan di New Mexico, Amerika Serikat, adalah merupakan fungsi
yang paling sering dimanfaatkan pelajar sekolah menengah atas untuk bersosialisasi
(Tsikalas). Pada level interaktif, Internet digunakan untuk akses jarak jauh ke sistem
komputer lain baik yang cuma-cuma seperti perpustakaan perguruan tinggi pada
umumnya maupun yang komersial dan membutuhkan password seperti Dialog
Information Services. Pada level komunikasi interaktif, pemanfaatan Internet mendekati
fungsi tradisional pustakawan. Sementara pada level komunikasi lanjut, Internet
dimanfaatkan untuk transfer file menggunakan fasilitas file transfer protocol (ftp).
Perpustakaan dan pusat informasi di Indonesia sudah menyadari bahwa Internet memberi
cara alternatif dalam penyediaan informasi. Biro Pusat Statistik (BPS) dalam posting bertanggal
4
2 Oktober 1995 di “Apakabar" mengumumkan bahwa kantor statistik tersebut dapat dijangkau
lewat Internet untuk memperoleh data dan tabel yang sebelumnya hanya tersedia dalam format
cetak. Sebagian data statistik BPS tersedia untuk didownload oleh pemakai. Perpustakaan USIS
di Jakarta mulai bereksperimen menyediakan sebagian informasinya melalui Internet dengan
membangun Homepage United States Commercial and Information Center pada akhir 1994,
yang juga memuat informasi tentang dan dari U.S.-Asia Environmental Partnership dan U.S.
Foreign Commercial Service. Pusdata Departemen Perindustrian juga dapat diakses lewat
Internet untuk mendapatkan, misalnya, Paket Kebijaksanaan 25 Mei. Berbagai media massa
memanfaatkan Internet untuk tujuan yang mungkin bersifat promosi tetapi tetap dapat dilihat
sebagai upaya menyebarkan informasi secara tak konvensional. Gatra, Kompas, Republika,
secara teratur memasang dalam, “Apakabar" beberapa artikel dari setiap terbitannya. Bahkan
Harian Kompas meluncurkan Kompas Online (Kompas Minggu, 22 Oktober 1995) sebagai versi
digital dari versi cetaknya. Surat kabar online ini terlihat persis sama dengan versi cetaknya,
menurut Kompas. Beberapa kali Gunawan Mohammad, mantan pemimpin redaksi majalah berita
mingguan Tempo dulu, menayangkan 'Catatan Pinggir' di forum yang sama. Menyediakan
pangkalan data lewat Internet bukan satu-satunya cara bagi pusat informasi dan perpustakaan
agar dapat diakses secara online. Bulletin Board System (BBS) kini banyak dimanfaatkan untuk
menyediakan informasi secara online. Kompas 4 Oktober mencatat 23 pengelola BBS yang
tersebar di Jakarta, Bandung, Malang dan Surabaya--berikut nomor-nomor teleponnya untuk
sambungan online.
PUSTAKAWAN TERSISIH
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa semakin banyak informasi tersedia dalam
format elektronik, dan sebagian di antaranya dapat diakses secara online. Dengan
menggunakan komputer yang dilengkapi modem dan melalui jaringan Internet atau BBS,
pemakai dapat mencari sendiri dan menemukan informasi yang dibutuhkan tanpa harus
dibantu oleh pustakawan. Peran pustakawan yang secara tradisional menjadi mediator
antara pencari informasi dan informasi di dalam perpustakaan akan semakin kurang
penting seiring bertambahnya pusat informasi online dan meningkatnya kemampuan
masyarakat dalam menggunakan teknologi informasi. Saat ini saja, mereka yang
membutuhkan data statistik dari BPS tidak harus datang ke perpustakaan dan minta
bantuan pustakawan untuk menemukan data yang diinginkan karena mereka sendiri dapat
memperolehnya langsung lewat Internet.
Proses marginalisasi akan berlangsung terus sebagai akibat perkembangan
teknologi informasi yang tiada akan berhenti, terutama jika pustakawan tidak
membarukan visi mereka tentang kepustakawanan dan menyesuaikan praktek
kepustakawanan dengan perkembangan teknologi informasi (Park). Menyesuaikan dapat
berarti meninjau kembali paradigma atau pola pikir mereka tentang kepustakawanan itu
sendiri sambil menyadari bahwa paradigma yang selama ini mereka anut belum tentu pas
dengan model kepustakawanan digital, sudah usang untuk dijadikan tuntunan dalam
lingkungan perpustakaan virtual. Sayangnya, sangat sedikit di antara kita yang mulai
memikirkan macam lingkungan yang perlu kita ciptakan di perpustakaan kita untuk
mendukung format media baru informasi yang tumbuh pesat (Houweling). Pustakawan
perlu menyadari bahwa mereka harus beradaptasi dengan lingkungan informasi yang
tengah berubah dan merangkul teknologi informasi untuk meningkatkan, atau paling
5
tidak mempertahankan. peran mereka dalam lalu lintas informasi.
Beberapa pola pikir atau konsep yang sudah berakar dalam kepustakawanan perlu
ditinjau kembali, dianalisis, dilihat kesahihannya dalam konteks perpustakaan virtual.
Pola pikir dimaksud mungkin sepintas terlihat tidak terlalu penting tetapi dalam
kenyataannya dapat menjadi penghalang dalam upaya beradaptasi dengan lingkungan
informasi digital. Misalnya konsep pustakawan mengenai besar-kecil perpustakaan,
tentang pemilikan sumber informasi, dan tentang perlunya pustakawan mengenal jaringan
informasi seperti bahasan berikut.
KECIL ITU BESAR
Apa yang dimaksud dengan perpustakaan kecil? Pada literatur yang kita baca
sepuluh tahun lalu, suatu perpustakaan disebut kecil jika koleksinya tidak lebih dari
20.000 buku plus sekian majalah dan menyediakan sekian kursi untuk diduduki
pengunjung. Perpustakaan yang lebih besar mempunyai koleksi yang lebih banyak, kursi
yang lebih banyak, staf yang lebih banyak, dan--konsekwensi logisnya--ruangan yang
lebih luas atau gedung yang lebih besar. Kategori besar atau kecilnya perpustakaan
ditentukan berdasarkan dimensi fisiknya. Ini salah satu contoh pola pikir model
kepustakawanan yang meletakkan pemilikan bahan pustaka cetak sebagai pusat
eksistensinya. Pola pikir ini mungkin masih benar jika yang diacu adalah perpustakaan
yang mengemban tugas melestarikan bahan pustaka cetak atau perpustakaan deposit
tetapi belum tentu benar jika yang diacu adalah perpustakaan yang mengutamakan
pemenuhan kebutuhan informasi komunitasnya.
Persepsi pustakawan tentang besar-kecil perpustakaan berdasarkan dimensi fisik
seperti di atas dapat menjadi kendala mental untuk menerima kehadiran teknologi
informasi. Pustakawan yang terobsesi untuk membesarkan perpustakaannya secara fisik
tidak akan mudah memilih, sebagai contoh, versi CD-ROM majalah karena tidak
berdampak banyak terhadap pembesaran perpustakaan. Satu set General Periodical
Ondisk ProQuest dari UMI terdiri atas kurang lebih 700 CD-ROM yang jika ditumpuk
akan membentuk silinder berdiameter 12 cm dan tinggi hanya 1,5 meter. Padahal, CDROM
ini memuat citra penuh 500 judul majalah dari total 1500 judul yang dimuat
indeks/abstraknya, terbitan antara 1986 sampai satu bulan yang lalu. Menyimpan versi
cetak seluruh informasi yang dikandung 700 CD-ROM ini dapat menghabiskan ruangan
100 meter persegi.
Konversi koleksi dari media kertas ke CD-ROM perlu dipertimbangkan
perpustakaan yang menghadapi masalah atau kesulitan dalam menyediakan ruang
penyimpanan yang besar. Satu CD-ROM dapat dijejali 650 megabyte informasi atau
setara dengan sekitar 350.000 halaman cetak. Dengan matematika sederhana, 3.500
bahan pustaka yang rata-rata terdiri atas 100 halaman dapat dikonversi ke satu CD- ROM
saja--bayangkan berapa banyak ruang koleksi dan biaya tersembunyi yang dapat dihemat.
Dalam konsep perpustakaan digital dan virtual, perpustakaan besar adalah
perpustakaan yang dapat mengakses lebih banyak informasi dan tidak berarti harus besar
6
secara fisik. Satu perpustakaan berukuran seratus meter persegi dengan koleksi 500 CDROM,
2.000 bahan pustaka cetak, akses ke ribuan pangkalan data lewat Internet, dan
didukung oleh lima cybrarian, mungkin masih lebih besar daripada perpustakaan lain
berukuran ribuan meter persegi dan didukung oleh belasan bahkan puluhan librarian
tetapi hanya mampu mengakses ratusan ribu bahan pustaka cetak koleksi sendiri.
MILIK Vs. AKSES
Persepsi tentang besar-kecil perpustakaan berdasarkan dimensi fisik dapat
membuat pustakawan mengagungkan pemilikan bahan pustaka. Makin banyak bahan
pustaka buku dan majalah yang dimiliki suatu perpustakaan, makin hebatlah
perpustakaan itu karena makin besar dan kemungkinan lebih lengkap koleksinya.
Kebijaksanaan atau pedoman pengembangan koleksi ditekankan pada pembelian bahan
pustaka dalam format cetak dan kurang memperhatikan kemungkinan menyediakan akses
ke pusat-pusat informasi yang banyak tersedia. Pada era perpustakaan virtual kini,
memiliki sendiri suatu sumber informasi belum tentu lebih menguntungkan daripada
memiliki akses ke sumber informasi. Tergantung pada karakteristik informasi dan
kecenderungan pemakaiannya, memiliki sendiri sumber informasi dapat lebih mahal
daripada menyediakan fasilitas online dan memanfaatkan sumber-sumber informasi yang
dimiliki pihak lain. Tidak mengherankan jika mulai banyak perpustakaan yang
memutuskan langganan atau tidak membeli bahan pustaka cetak karena bahan yang sama
tersedia secara online. Perpustakaan berkoleksi kecil dan sedang dapat menelusur
jaringan untuk menemuka informasi di perpustakaan lain, termasuk informasi yang
belum tersedia dalam for mat cetak. Menurut suatu survei, banyak responden
memperoleh versi elektronik dokumen-dokumen terbitan pemerintah sebelum versi
cetaknya diterima lewat pos (Miller). Saat ini sedang berlangsung pergeseran dari
kecenderungan perpustakaan untuk 'memiliki' sumber informasi ke kecenderungan untuk
menyediakan ‘akses', ke pusat- pusat informasi online (Verity), atau pergeseran dari
pendekatan kearsipan ke pendekatan akses (Gapen).
Sekedar untuk menjelaska bahwa “memiliki” bisa lebih mahal daripada
“menyediakan akses', pengandaian berikut mungkin bisa menolong. Untuk berlangganan
dan memiliki New York Times dalam bentuk film mikro dari UMI perlu biaya Rp. 2 juta
setahun. Versi CD-ROMnya juga tersedia dari UMI seharga Rp. 4 juta, terdiri dari 3 CDROM
dan mencakup NYT terbitan mulai 1986 dengan update setiap beberapa bulan.
Versi online CD-ROM ini tersedia melalui salah satu agen dengan perhitungan biaya
berdasarkan durasi hubungan online dan informasi yang didownload. Berdasarkan
statistik dari tiga tahun terakhir tentang pemakaian NYT versi film mikro koleksi suatu
perpustakaan, diketahui bahwa rata-rata hanya dua pemakai setiap bulannya dan tiap
pemakai mencetak rata-rata 3 artikel. Berdasarkan data ini, perpustakaan tersebut
memutuskan tidak perlu meneruskan berlangganan versi film mikro apalagi membeli
versi CD-ROM NYT karena untuk memenuhi permintaan dua pengunjung perpustakaan
dan melanggan akses ke versi onlinenya untuk mendapatkan 6 artikel setiap bulannya,
perpustakaan tersebut hanya akan membelanjakan kurang dari Rp. 1.000 .000 per tahun,
dan karena perpustakaan tersebut tidak berfungsi sebagai pusat arsip, dan karena untuk
memiliki dan menyimpan NYT versi film mikro akan makan tempat dan berarti biaya
7
tersembunyi, karena harga microform reader-printer belasan juta rupiah, karena
menelusur versi online jauh lebih mudah.
Sumber informasi online tersedia hampir untuk setiap bidang ilmu dari ratusan
bahkan ribuan institusi atau korporasi yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Namun
tidak seperti informasi cetak semisal buku dan majalah yang relatif mudah ditemukan
melalui katalog, brosur, tinjauan pustaka dan sejenisnya, informasi mengenai sumber
informasi online seringkali hanya tersedia secara online pula. Dari pustakawan dituntut
pengetahuan tentang jaringan informasi online dan tentang pangkalan data yang relevan
dengan jenis dan layanan perpustakaannya agar dapat mengeksploitasinya dengan sebaikbaik
dan sebijak-bijaknya. Pustakawan dituntut supaya melek jaringan.
MELEK JARINGAN (Network Literacy)
Mula-mula adalah jaringan televisi dan radio yang dianggap paling mampu
menembus batas-batas geografi dan budaya dalam menyebarkan informasi dan pengaruh.
Kini, Internet membuktikan bahwa jaringan informasi elektronik ini dapat menyamai dan
mungkin akan melebihi jaringan media massa elektronik dalam kemampuan menembus
batas-batas tadi. Teknologi (informasi) meningkatkan dan mengubah pengalaman anusia
dengan menghomogenkan dimensi waktu dan tempat (Boorstin). Hampir tidak ada
bedanya mengakses pangkalan data di benua lain atau di Jakarta jika dilihat dari dimensi
tempat. Lewat Internet, menghubungkan komputer di Jakarta dengan suatu pusat
informasi di Amerika Serikat tidak lebih sulit daripada menghubungkan komputer yang
sama dengan suatu pangkalan data di Jakarta sendiri. Keduanya sama-sama
membutuhkan hubungan telepon dengan Internet access provider langganan di Jakarta,
keduanya sama-sama memberikan waktu respon yang hampir tidak betbeda. Yang
menjadi rintangan untuk mengakses pusat informasi di tempat-tempat yang betbeda tidak
terletak pada posisi georafis pusat informasi tersebut, tidak pada hitungan kilometer
antarpusat, tidak pada latar belakang etnis, melainkan pada pengetahuan pustakawan
tentang pusat-pusat informasi yang relevan dengan bidang kegiatan perpustakaannya.
berpengetahuan cukup tentang jaringan informasi--melek jaringan atau network literacybagi
pustakawan sama pentingnya dengan melek huruf bagi umat manusia.
Pustakawan perlu menerima pola-pikir baru ini dan menolak anggapan bahwa
melek huruf dan melek komputer saja sudah cukup untuk menghadapi tantangan
perkembangan teknologi informasi. Juga menolak sikap represif kultural dan politis
hanya karena lewat jaringan Internet dapat diperoleh informasi altematif, yaitu informasi
yang tidak dapat ditemukan pada media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan
televisi. Singapura saja, yang masih melarang pemakaian antena parabola dan mencekal
banyak jurnal luar negeri, menjadi pionir dalam revolusi informasi (Keegan) dan
mendukung terciptanya “masyarakat jaringan” dengan menyediakan infrastruktur yang
mendukung pemasyarakatan Internet. Melek jaringan atau kemampuan untuk
mengidentifikasi, mengakses, dan menggunakan informasi elektronik dari jaringan, akan
merupakan keakhlian kritis untuk warga masa depan jika mereka ingin produktif dan
efektif dalam kehidupan pribadi dan kehidupan profesional mereka (McClure).
8
Melek jaringan bukan berarti harus menguasai teknologi informasi melalui
pendekatan teknologinya--meskipun itu akan merupakan nilai tambah--tetapi sudah
memadai jika menguasainya melalui pendekatan informasinya. Misalnya, seorang
pustakawan perpustakaan virtual harus mampu menentukan, dari antara puluhan ribu
pusat informasi yang tersambung ke Internet, pusat mana yang paling mungkin
mempunyai informasi yang dibutuhkan (Garrett).
KEPUSTAKAWANAN ALTERNATIF
Peran pustakawan dalam masyarakat adalah memaksimalkan pemanfaatan
sumber-sumber informasi demi keuntungan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain,
fungsi pustakawan adalah menjadi mediator antara masyarakat dan sumber-sumber
informasi; bukan hanya buku tetapi termasuk sumber-sumber informasi dalam media
lain. Tujuan perpustakaan adalah untuk menghubungkan masyarakat dengan
pengetahuan terekam dengan cara yang semanusiawi dan sebermanfaat mungkin
(Gapen). Sebagai mediator antara masyarakat dan sumber informasi, hakekat tugas
pustakawan dalam menjalankan perannya saling terkait dan saling pengaruh dengan
hakekat media informasi yang tersedia. Seperti telah dibicarakan, kehadiran media
elektronik sebagai altematif bagi media cetak mempengaruhi cara-cara pustakawan
menjalankan perannya agar tetap maksimal. Tetapi perlu diingat bahwa media cetak
belum dan tidak akan sama sekali digantikan oleh media elektronik. Keduanya masih
terus akan berdampingan, saling melengkapi, meski tidak dapat disangkal bahwa
pertumbuhan media elektronik sangat cepat dan akan menguruskan dominasi kertas
sebagai media informasi. Sebab itu, kepustakawanan yang berlandaskan kertas masih
tetap dibutuhkan. Tetapi, pada saat yang sama, kepustakawan virtual dan digital semakin
diperlukan
Pustakawan perlu menyadari bahwa perlu ditumbuhkan suatu jenis
kepustakawanan dengan paradigma-paradigma baru yang mampu menjawab tantangan
media elektronik tanpa meninggalkan kepustakawanan konvensional yang memang
masih dibutuhkan. Kepustakawanan altematif yang dapat menangkal marginalisasi
pustakawan ini harus menjadi bagian dari pelkembangan kepustakawan konvensional,
dan tetap menyadari bahwa kemampuan maupun level digitalisasi dan virtualisasi
berbeda-beda antar perpustakaan. Sebagian perpustakaan di Indonesia masih harus
beroperasi apa adanya, sebagian lagi berpotensi untuk bergabung dengan dan
memanfaatkan Internet pada level komunikasi fundamental. Hanya sebagian kecil yang
sudah mampu memanfaatkan Internet pada level komunikasi interaktif dan level lanjut
untuk merambah ribuan pusat informasi dalam memenuhi kebutuhan pemakainya. Yang
sebagian kecil ini dapat memainkan peran penting untuk meningkatkan unjuk
kerja perpustakaan Indonesia secara umum dengan cara menyediakan diri sebagai
penyambung antara perpustakaan yang belum dan yang sudah virtual.
Kepustakawanan altematif perlu menciptakan dasar-dasar perpustakaan virtual
yang memungkinkan pustakawan konvensional mengakses informasi elektronik dengan
mudah tanpa menjadi pakar teknologi, mengupayakan digitalisasi informasi ilmiah yang
banyak dibutuhkan (Lowry), dan mengupayakan hubungan online pulsa murah antara
9
perpustakaan kecil dengan perpustakaan besar. Dengan upaya-upaya ini, kesenjangan
informasi diharapkan tidak semakin melebar dan masyarakat tidak jatuh pada
kesenjangan baru: kaya informasi, dan miskin informasi.
DAFTAR BACAAN DAN REFERENSI
Ardis, Susan B. [comp.] Library Without Walls. Plug In and Go. Special Libraries
Associations, 1994. 216p.
Garret, John R. "What is a Digital Library? ," dalam “1995 Digital Libraries
Conference: Moving Forward into the Information Era, pp. 13-17
Gruchow, Paul. "Ransacking Our Libraries," Utne Reader, No.69, May 1995, pp. 30-32
Keegan, Victor. "Who's in Charge Here? Speeding Toward the Inforbahn," World Press
Review, Vol. 42, No.4, Apri11995, pp. 8-9
Keiser, Barbie E. "Who is the Modern Information Professional?" in 1995 Digital
Libraries Conference: Moving Forward into the Information Era, pp, 29-38
Kupfer, Andrew. "Alone Together Will being Wired Set Us Free?," Fortune, Vol.
131, No, 5, March 20, 1995, pp, 94-104
Lang, Laura. "Mapping the Future of Map Librarianship," American Library, Vol 23,
No, 10. November 1992, pp. 880-883.
Lowry, Charles B. "Preparing for the Technological Future: A Journey of Discovery,"
Library Hi Tech, Vol. 13, No.3, 1995, pp. 39-53
McClure, Charles R. "Network Literacy: A Role for Libraries?, "Information
Technology and Libraries, June 1994, pp. 115-125
Miller, Jerry P, "Should You get Wired?," Library Journal, Vol. 119, No.2, pp. 47-49
Park, Bruce. "Libraries without Walls; or, Librarians Without Profession," American
Libraries, Vol. 23, No.9, October 1992, pp. 746-747
Person, Ruth. "Organizational Structure at the Crossroads," Educational Record, Vol.
75, No, 3, Summer 1994, pp, 42-46
Reid, Edna O.F. "Internet and Digital Libraries: Implications for Libraries in Asean
Region," in 1995 Digital Libraries Conference: Moving Forward into the Information
Era, pp. 56- 72
Saunders, Laverna M. The Virtual Library: Visions and Realities. Meckler, 1993.
165p.
10
Smith, Kitty ."Toward the New Millennium: The Human Side of Library Automation
(Revisited)," Information Technologies and Libraries, Vol. 12, No.2, June 1993, pp.209-
217
Tennant, Roy. "The Virtual Library Foundation: Staff Training and Support," Information
Technogy and Libraries, March 1995, pp. 46-53
Tsikalas, Kallen. "Internet-based Learning?," Electronic Learning, Vol. 14, No.7,
Apri11995, pp. 14-15
Van Houweling, Douglas E. "Knowledge Services in the Digitized World: Possibilities
and Strategies," Electronic Access to Information: A New Service Paradigm, pp.5-16
Verity, John W. "Welcome to Cy-brary," Business Week, May 29, 1995, pp. 90-91
Watkins, Beverly T. "New Era for Library Schools," Chronicle of Higher Education,
Vol. 40, No.37, May 18,1994, pp. A19-A20



Tidak ada komentar: