Selasa, 08 Januari 2008

INTEGRASI ILMU; Sebuah Rekonstruksi Holisti

Judul:INTEGRASI ILMU; Sebuah Rekonstruksi Holistik
Penerbit:‘Arasy MIZAN, Bandung
Tahun:2005

Perkembangan ilmu adalah sebuah kemestian seiring bergulirnya dimensi waktu. Hal tersebut meniscayakan lahirnya varian bidang keilmuan alias spesialisasi yang memetakan satu ilmu dengan lainnya. Fenomena demikian juga berimplikasi besar terhadap objek kajian yang dibuahkan tiap bidang keilmuan yang tak ayal berseberangan satu sama lain.

Kondisi seperti itu merupakan buah dari dikotomi keilmuan yang telah mengklasik. Sedari dulu, dunia Islam dan dunia sains Barat telah bersentuhan dengan tradisi serupa sehingga memunculkan term ilmu agama dan non-agama. Distingsinya adalah ilmuan Islam hanya melakukan pemilahan dan tetap mengapresiasi keduanya, sedangkan tradisi sains Barat menisbikan ilmu agama dan menganakemaskan ilmu non-agama.

Persoalan dikotomi ini patut diselami lebih dalam agar mencerahkan pemahaman kita dalam melihat tradisi keilmuan Islam secara komprehensif. Sederet argumentasi seputar keilmuan Islam dengan paparan yang mudah dipahami termaktub dalam buku ini. Penulisannya dilatari oleh desakan akademik yang mengharuskan implementasi konsep keilmuan yang integratif dan holistik dalam proses pembelajaran dengan format yang sistematis, terutama di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN).

Setidaknya, buku ini berusaha mengatasi beberapa masalah yang ditimbulkan oleh dualisme keilmuan tersebut, yaitu: Satu, status ilmiah dan derajat ilmu agama dan non-agama yang terkelaskan secara sepihak. Jika berlarut, masalah ini akan menajam dan diskursif. Sistem pendidikan sekuler barat yang dikenal dalam dunia Islam melalui imperialisme menganggap ilmu-ilmu agama sekedar pseudo-ilmiah atau quasi-ilmiah, tak terbuktikan secara faktual karena menandaskan pada makna yang non-empiris. Sementara itu, fenomena-fenomena alam pasti memiliki relasi dengan kuasa Ilahi karena merupakan cerminan kreatifitas Tuhan. Dua, sumber ilmu yang dalam tradisi Islam mengakui empat sumber yang terpadu dan saling melengkapi, yaitu: indra, akal, hati, dan kitab suci. Hal ini berbeda dengan Barat yang karena membatasi objek kajiannya pada entitas-entitas fisik semata sehingga sumber ilmu juga terbatas pada indra-indra fisik (senses). (h 115). Tiga, objek-objek ilmu yang oleh sains Barat terbatas pada segala sesuatu yang dapat diobservasi (the observables) sehingga persoalan seperti Tuhan dan malaikat tereliminasi dari daftar objek yang patut dikaji.

Cara pandang ilmu yang dikotomis, pada nantinya, akan menafikan dimensi etik dan menyeret ilmu-ilmu agama ke zona degradasi keilmuan. Oleh karena itu, buku ini mengetengahkan solusi dalam menghadapi beberapa problematika dikotomis yang terpaparkan dalam dua belas bahasan faktual. Penulis menekankan bahwa upaya ke arah integrasi ilmu pengetahuan secara teoretis dan praktis mesti diupayakan hingga tingkat epistemologis melalui tiga macam integrasi, yakni: ontologis, klasifikasi ilmu, dan metodologis.

Penulis buku yang berprofesi selaku dosen filsafat ini menegaskan bahwa keyakinan pada status ontologis atau eksistensi objek-objek ilmu pengetahuan akan menjadi basis ontologis dari epistemologi yang akan terbangun. Pernyataan tersebut menemukan momentum performatifnya ketika kita mengamati ilmuan-ilmuan Barat seperti Darwin, Sigmund Freud, Emile Durkheim, Karl Marx, Laplace, dan sebagainya yang 'menutup mata' terhadap eksistensi entitas-entitas metafisik. Lain halnya dengan ilmuan Muslim seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Suhrawardi, Mulla Shadra, dan selainnya yang memandang wujud (maujudat) metafisik sebagai entitas yang mesti dipadukan dengan entitas fisik sehingga meniscayakan pengkajian pada semua bidang yang terkait. Berkaitan dengan klasifikasi ilmu, penulis lulusan Universitas Chicago ini berpijak pada klasifikasi ilmu teoretis ala al-Farabi yang mengelompokkan ilmu ke dalam tiga ilmu utama: metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu alam. Hemat penulis, ketiga kelompok utama ilmu ini akan membentuk klasifikasi ilmu rasional yang integral, tanpa menganaktirikan salah satunya. (h 212). Adapun klasifikasi ilmu-ilmu praktis, filsuf Muslim juga membaginya ke dalam tiga jenis, yaitu: etika, ekonomi, dan politik. Dalam hal metodologis, atensi ilmuan Barat terfokus pada metode observasi yang notabene menekankan potensi indra yang berorientasi fisik. Penekanan seperti ini bisa berdampak fatal karena observasi indra bisa saja meleset dan tak kuasa terhadap objek-objek metafisik. Untuk itu, potensi akal dan hati atau intuisi juga harus dilibatkan dalam pengkajian ilmiah. Jauh hari sebelumnya, tradisi filsafat Islam mengakomodasi seluruh potensi tersebut sebagaimana terlihat pada konsep Suhrawardi yang membagi pendekatan kepada dua macam, yaitu: diskursif (bahtsi) dan eksperiensial (dzauqi).

Meskipun buku ini hanya diselesaikan dalam kurun sebulan, namun isinya merupakan sebuah kontribusi besar yang terbilang solutif dan inspiratif dalam mengusung ide integrasi ilmu.

Syahrullah Iskandar, peserta program Pendidikan Kader Mufassir PSQ.

http://www.psq.or.id/perpustakaan_detail.asp?mnid=31&id=66

Tidak ada komentar: