Selasa, 08 Januari 2008

Nilai Informasi

Nilai Informasi

Pandangan tentang informasi sebagai komoditi mengadaikan bahwa informasi dapat diperjualbelikan baik sebagai “intermediate goods” maupun sebagai “consumption good”. Tetapi pengandaian ini tidak mudah, sebab untuk menjadi demikian informasi harus memiliki nilai tambah dan memberi keuntungan bagi setiap investasinya; kemudian, investasi ini harus terlindungi hukum kepemilikan. Tanpa ekslusivitas kepemilikan, informasi bisa saja bernilai tetapi akan sulit diberi harga. Pemberian nilai dan harga ini menjadi sulit manakala reproduksinya sudah sangat mudah dan murah, apalagi sekarang juga transmisi atau penyebarannya semakin murah.

Informasi juga sulit diberi nilai dan harga karena potensi karakteristiknya sebagai public goods. Setiap informasi berpotensi menjadi milik umum karena kepemilikannya dapat meluas, dan satu informasi dapat dimiliki oleh banyak orang sekaligus. Setiap orang dapat memberikan informasi tanpa kehilangan kepemilikannya atas informasi tersebut. Kalaupun ada upaya untuk membatasi akses informasi hanya kepada orang-orang yang mau membayar, maka upaya ini pada umumnya tidak efisien karena untuk setiap akses tambahan tidak ada biaya tambahan terhadap produksi informasinya. Sekali diproduksi, informasi dapat diakses berkali-kali atau oleh sebanyak-banyaknya orang tanpa menambah biaya produksi tersebut.

Kemudian juga ada persoalan dalam mengkuantifikasi dan mengukur informasi yang ingin diperjualbelikan sebagai benda. Komoditisasi informasi dilakukan lewat kemasan atau format fisik media penyimpannya (mulai dari bentuk buku, CD, program televisi, websites, dsb.), dan orang membayar bentuk-bentuk fisik atau siaran itu, tetapi sebenarnya nilai dan harga yang dikenakan tidak pernah benar-benar menyentuh isi informasi yang keluar dari kemasan-kemasan tersebut. Itu sebabnya, sulit menetapkan standar bagi harga sebuah informasi, dan industri informasi selalu menghadapi persoalan dalam upaya memastikan harga sesungguhnya dari informasi.

Karena kerepotan-kerepotan di atas, komoditisasi informasi lalu dikaitkan pula dengan efisiensi organisasi bisnis. Informasi kemudian dikaitkan dengan kemampuan organisasi bisnis dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan pasar. Sedemikian rupa, akhirnya informasi dikaitkan dengan pengetahuan dan efisiensi pengelolaan komunikasi pengetahuan secara internal maupun eksternal. Maka perhatian diarahkan kepada informasi yang relevan untuk memperbaiki kinerja dan perilaku anggota-anggota organisasi dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi.

Dari sisi pandang organisasi inilah maka ada a dramatic shift in value creation. Jika berbagai teori organisasi bisnis selama ini bergantung kepada audit finansial dalam bentuk balance sheet dan income statement, sekarang nilai sebuah bisnis juga bergantung kepada serangkaian elemen berupa pemikiran / ide, inovasi, aktivitas, kerja sama kelompok, dan business processes. Ini semua disebut "intangibles." Maka akhirnya, intangibles are increasingly the means by which companies deliver the value they provide to customers. Menurut sebuah penelitian Harvard, investasi di tahun 1998 untuk intangible assets berupa pelatihan, brand, dan penelitian dan pengembangan melebihi investasi untuk yang tangibles seperti properti, pabrik, peralatan. Selain itu juga ada investasi khusus untuk menyempurnakan proses bisnis dan manufacturing process, pengembangan instrumen finansial yang dapat membantu manajemen menyebarkan risiko bisnis secara lebih terencana, dan pengembangan corporate culture.
Dengan demikian, setiap organisasi kini tidak hanya bicara tentang “informasi” atau “data” sebagai bagian dari proses komoditisasi informasi, melainkan juga kaitan antara informasi dan data itu dengan pengetahuan. Pengetahuan sebagai intangible assets menjadi penting untuk menggambarkan kondisi sebuah organisasi bisnis. Berbagai model digunakan untuk menggambarkan betapa bernilainya pengetahuan bagi sebuah organisasi. Misalnya, "Model Skandia" menggambarkan pengetahuan sebagai berikut:

Market Value = Financial Capital + Intellectual Capital
Intellectual Capital = Human Capital + Structural Capital

Human Capital di rumus di atas terdiri dari pengetahuan, ketrampilan, kemampuan melahirkan inovasi, dan kemampuan anggota organisasi melakukan tugasnya, termasuk di dalamnya nilai, kultur, dan filosofi. Juga termasuk pengetahuan, kebajikan (wisdom), keahlian, intuisi, dan kemampuan perorangan untuk mewujudkan tugas dan tujuan; merupakan milik perorangan dan tidak bisa dimiliki oleh organisasi.

Sedangkan Structural Capital adalah pengetahuan yang menetap di sebuah organisasi di luar modal manusia. Structural Capital ini dapat didefinisikan sebagai = Market Capital + Organizational Capital

Market Capital adalah nilai di dalam hubungan sebuah organisasi dengan klien. Sedangkan Organizational Capital adalah perangkat keras, perangkat lunak, pangkalan data, struktur organisasi, paten, merek dagang, dan segala sesuatu yang mendukung produktifitas perorangan melalui penggunaan bersama dan penyebarannya.

Selanjutnya, Organizational Capital dapat dirumuskan sebagai = Process Capital + Renewal & Development Capital

Process Capital itu sendiri adalah proses, aktifitas, dan infrastruktur untuk penciptaan, pemakaian bersama, pemindahan, dan penyebaran pengetahuan yang dapat memberi sumbangan kepada produktifitas organisasi. [kegiatan masa kini]

Renewal and Development Capital adalah kemampuan dan investasi aktual untuk masa depan, seperti pembelajaran, penelitian dan pengembangan, paten, merek dagang. [persiapan masa mendatang]

Kalau kita melihat lebih seksama unsur "process capital" di model di atas, maka organisasi-organisasi modern saat ini diingatkan kembali tentang perlunya perhatian kepada apa yang selama ini dikenal sebagai "modal sosial" (social capital) yang sudah pernah kita bahas sebelumnya.
http://tahusamatahu.blogspot.com/2006/02/nilai-informasi.html

Tidak ada komentar: