Rabu, 06 Februari 2008

Perpustakaan Pribadi, Harta Sulit Diwariskan

Sabtu, 19 November 2005




Perpustakaan Pribadi, Harta Sulit Diwariskan


Oleh Nova Christina

Kecintaan seseorang pada buku memang kerap kali tidak terbendung. Membeli dan mengoleksinya merupakan jalan terbaik. Namun, tatkala keinginan tersebut terpenuhi, bagaimanakah masa depan tumpukan koleksi tersebut? Bisa jadi, semua akan musnah sejalan dengan pudarnya kehidupan sang empunya.

Ancaman semacam ini disadari ataupun tidak menjadi kekhawatiran para pengoleksi buku. Awalnya, koleksi pribadi memang semata-mata milik pribadi, sebagai pemuas kebutuhan pribadi. Pengalaman Yongki Wardiman Gunawan, arsitek yang juga dikenal sebagai pengamat komik, menarik disimak. Dari hasil pendataan tiga tahun yang lalu, tak kurang 4.500 komik tersimpan di beberapa rak buku di kediamannya. Mulai dari bundelan komik Put On sekitar tahun 1960-an, karya Kho Wang Gie yang diterbitkan di surat kabar Sin Po hingga komik superhero mancanegara maupun lokal ia miliki. Komik-komik tersebut ia kumpulkan sejak ia masih duduk di tingkat sekolah menengah pertama. Maklum, saat itu tidak ada seorang pun yang memengaruhi Yongki muda untuk mulai menyimpan komik-komik yang ia beli. Keinginan untuk membaca berulang-ulang komik-komik yang dibeli dan dianggap menarik sematalah yang memotivasi untuk mulai menyimpan.

Koleksi komik-komik miliknya terus bertambah. Jika perlu ia tak segan mengunjungi berbagai pasar buku bekas. Pasar buku bekas di Pasar Senen Jakarta, di wilayah Ancol, ataupun Palasari dan Cikapundung di Bandung sering ia datangi untuk berburu komik. Menurut pengakuan Yongki, setiap dua hari sekali secara rutin ia selalu mengunjungi toko buku.

Gila Buku

Contoh lain, orang yang memiliki kegilaan dalam mempertahankan buku-buku secara kontinu juga dapat dilihat dari pengalaman Murti Bunanta, pemerhati sastra anak Indonesia yang juga motor Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPA). Di kediamannya di wilayah pemukiman Permata Hijau, Jakarta, hingga kini telah terkumpul sekitar 30.000 buku-buku yang berkaitan dengan sastra anak. Tak main-main, buku-buku yang disimpan tersebut tak jarang didatangi bahkan oleh para peneliti dan pemburu naskah dari luar negeri. Lembaga-lembaga seperti KITLV milik Pemerintah Belanda, Universitas Leiden maupun dari perpustakaan Library Congress. Menurut Murti Bunanta, koleksi bahan-bahan literatur miliknya digolongkan sangat lengkap oleh lembaga-lembaga asing yang banyak menyimpan naskah maupun buku tentang Indonesia tersebut.

Kesukaan menyimpan buku dilakukan Murti Bunanta sejak ia masih kecil. Buku-buku bacaan yang dibelikan untuk saya waktu kecil selalu saya simpan, ia menjelaskan. Tak disangka, dari kecintaannya membaca sejak kecil ia kemudian justru menekuni sastra anak dan terus mengumpulkan berbagai bahan literatur tentang anak. Murti Bunanta mengamati buku anak-anak sering kali ditelantarkan setelah dibaca, bahkan dibuang. Jika diketahui ada orang yang hendak membuang buku-buku anak, tak segan-segan dirinya menghubungi dan meminta buku-buku tersebut. Sayang kan kalau dibuang? Murti Bunanta menegaskan.

Mirip dengan dua perilaku di atas, tokoh besar seperti Mohammad Hatta pun sangat menghargai buku-buku yang dimiliki dari sejak berusia 19 tahun. รข€Terutama sejak ia masuk ke sekolah dagang, Meuthia Hatta sang putri yang kini menjabat sebagai Menteri Urusan Perempuan menjelaskan. Menurut Meuthia Hatta, ayahnya demikian menghargai buku yang dimiliki. Sang ayah bahkan seperti sedang melakukan ritual khusus ketika membaca. Hatta selalu mengajarkan pada anak-anaknya untuk menghargai buku dan proses membaca. Membaca harus duduk dan buku-buku tidak boleh dilipat apalagi dicoret-coret, kenang Meuthia.

Koleksi yang dimiliki tersebut hingga kini masih dijaga oleh anak-anak Bung Hatta. Untuk menjaga dan merawat buku-buku milik Bung Hatta tersebut, keluarga menyerahkan kepercayaan kepada Andono yang sejak berusia 18 tahun telah mengabdi kepada Bung Hatta. Hingga kini koleksi Bung Hatta dinilai selayaknya sebuah harta warisan dari sang ayah yang dibanggakan. Perpustakaan pribadi milik Bung Hatta di tempatkan di sebuah ruangan khusus yang dilengkapi dengan pendingin. Andono secara rutin membersihkan buku-buku dari debu-debu yang menempel. Diakui oleh Meuthia, dengan mengetahui buku-buku yang dibaca dan disimpan oleh Bung Hatta ia menjadi merasa bangga akan sosok sang ayah. Seseorang itu dapat kita nilai dari buku-buku yang dibaca, kata Meuthia Hatta.

Biaya Besar

Namun, persoalannya, menyimpan dan merawat buku-buku dalam jangka waktu lama bukanlah sesuatu yang mudah. Iklim yang lembab seperti Indonesia membuat buku-buku yang disimpan menuntut untuk dijaga sedemikian rupa. Proses pendinginan secara terus-menerus, pembersihan dari debu hingga pembasmian rayap dan jamur dibutuhkan untuk mempertahankan buku-buku yang disimpan. Untuk mampu memenuhi syarat perawatan seperti ini, tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan.

Sebagai contoh, perpustakaan pribadi milik seorang tokoh besar seperti Bung Hatta saja hingga kini hanya mampu menyediakan pendingin, pembersihan dari debu dan pemberian kamper pada buku-buku yang sebagian besar berumur di atas seratus tahun tersebut. Koleksi tertua milik Bung Hatta adalah History of Java karya Sir Stamford Raffles yang dicetak tahun 1812. Literatur yang berkaitan dengan Jawa tempo dulu yang sudah berusia hampir dua abad ini disimpan sama dengan buku-buku lainnya. Dananya besar untuk mampu memenuhi seluruh syarat perawatan buku-buku tersebut, Meuthia Hatta mengakui.

Pengakuan yang sama pun dilontarkan oleh Murthi Bunanta dengan 30.000 koleksi bacaan anak-anak miliknya. Untuk pendinginan selama 24 jam akan mengeluarkan dana yang besar, kami tak sanggup memenuhinya, Murthi Bunanta menjelaskan. Apalagi, para pemilik perpustakaan pribadi cukup sadar bahwa tak mungkin mengharapkan bantuan dari lembaga-lembaga seperti Perpustakaan Nasional maupun beberapa pusat dokumentasi untuk menyimpan buku-buku mereka. Tak dapat memang kita menutup mata jika lembaga seperti Perpustakaan Nasional maupun Arsip Nasional pun mengeluhkan persoalan yang sama soal perawatan buku-buku ini.

Sebagai sebuah perpustakaan, tentu saja syarat utama buku-buku yang dikumpulkan harus mencapai kuantitas yang tergolong besar. Untuk itu, proses kelanjutan dari pengumpulan buku-buku adalah pengatalogisasian. Buku-buku tersebut didata, dikelompokkan dan diberi nomor berdasarkan kriteria-kriteria tertentu seperti subyek, penulis, judul buku, tahun penerbitan, dan sebagainya. Hal ini akan mempermudah pemilik perpustakaan atau siapa pun yang hendak mencari buku.

Yongki Wardiman dengan 4.500 komik miliknya, misalnya, mengaku telah mencoba mengelompokkan berdasarkan judul. Beruntung ia mempunyai seorang karyawan yang terkadang membantu dalam mendata dan mengategorikan komik-komik miliknya.Ya, meski kami mengaturnya masih agak kacau, Yongki menjelaskan. Namun, sesederhana apa pun pendataan maupun pengategorian ini dilakukan, para pemilik perpustakaan pribadi rupa-rupanya sudah berusaha untuk menunjukkan keseriusan mereka terhadap buku-buku yang dimiliki.

Digitalisasi

Jika Yongki Wardiman masih mengaku belum merasa telah benar mengatur buku-buku yang dimiliki, lain hal dengan yang diupayakan oleh M Dawam Raharjo. Untuk mengatur 15.000 buku miliknya, ia dibantu oleh dua kemenakannya. Mereka tidak hanya membantu mengatalogisasikan buku-buku, juga membantu dalam pengadaan buku-buku untuk perpustakaan pribadi miliknya. Bahkan, tentang masa depan perpustakaan pribadi miliknya, Dawam Raharjo telah merancang proses katalogisasi secara digital. Sehingga orang-orang bisa mengakses perpustakaan milik saya secara on line, ujarnya.

Untuk mewujudkan rencananya ini, Dawam Raharjo bahkan sudah meminta bantuan seorang yang ia anggap mampu untuk membuat katalog digital tersebut. Dawam Raharjo yang mengaku terinspirasi mengumpulkan buku dari seorang kerabat dekat ini memang memiliki rencana besar terhadap perpustakaan pribadi miliknya. Ia tak pernah membatasi anggaran untuk pengadaan buku-buku. Ia memiliki visi akan kehadiran begitu banyak perpustakaan milik para pecinta buku yang bisa diakses oleh sekian banyak orang yang membutuhkan secara on line. Asyik, kan? Dawam Rahardjo membayangkan.

Berbeda dengan Dawam Rahardjo, beberapa pemilik lain mengaku masih bingung akan nasib harta berharga yang sangat disayangi tersebut. Mengenai koleksi buku-buku milik Bung Hatta, misalnya, Meuthia Hatta sampai saat ini menginginkan lembaga seperti Perpustakaan Nasional mau membuat katalog digital sehingga banyak orang dapat memanfaatkan buku-buku. Jadi, kami anak dan cucu-cucu Bung Hatta yang merawat dan menyimpan, namun mereka membantu dalam pengembangan selanjutnya demikian Meuthia Hatta mengungkap keinginannya. Ia mengatakan pernah menawarkan ide ini pada pihak Perpustakaan Nasional, namun hingga kini belum mendapat sambutan.

Dengan demikian, satu pertanyaan besar mengenai perpustakaan pribadi adalah bagaimana kelanjutan perkembangannya? Serba dilematis memang. Sebenarnya, langkah teraman membiarkan milik pribadi berubah fungsi menjadi milik umum. Namun, hal demikian tidak menutup terjadinya persoalan lain, terutama terkait pada siapa atau lembaga mana yang memang mampu menampung semua ini.

Yongki Wardiman dengan tak kurang dari 4.500 komik, misalnya, mengaku hingga kini tidak tahu akan diapakan koleksinya tersebut. Ia memang tak berniat untuk menjual komik-komik miliknya pada lembaga asing yang tak mustahil akan sangat berminat dan mampu membayar mahal. Namun, ia juga belum mampu membayangkan akan dikemanakan buku-buku miliknya jika ia meninggal nanti. Anak perempuannya yang masih duduk di bangku SMP memang sudah menunjukkan minat yang sama dengan dirinya. Namun, ia tak ingin memaksa sang anak untuk menjaga dan merawat komik-komik miliknya nanti. Dari sekarang saja sudah terlihat minat yang berbeda dari bagaimana dia memilih jenis komik yang disukai, Yongki Wardiman menjelaskan. Akankah buku-buku tersebut tersimpan hingga lapuk dan hancur dimakan waktu tanpa akan ada yang bisa memanfaatkannya?

(umi, wen/Litbang Kompas)
http://kompas.com/kompas-cetak/0511/19/pustaka/2221362.htm

Tidak ada komentar: