Sabtu, 05 Januari 2008

OTOKRITIK IPI SEBAGAI ORGANISASI PROFESI DALAM RANGKA OTONOMI

OTOKRITIK IPI SEBAGAI ORGANISASI PROFESI DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH

Oleh : H.M. Ardi Siswanto

Pendahuluan

Harapan para Pustakawan Indonesia menjadi sosok Pustakawan yang Ideal sebagaimana yang tertuang dalam rumusan Profil Pustakawan Indonesia masih perlu dipertanyakan . Hampir setiap Rapat Kerja dan Seminar Ilmiah masalah tersebut mencuat kepermukaan, bahkan penataan organisasi pun selalu menjadi isu utama. Para pengurus IPI baik dari tingkat Pusat, Daerah dan Cabang belum menunjukkan suatu kepengurusan yang solid, bagi penulis harapan sosok Pustakawan yang ideal rasanya sulit sekali menjadi kenyataan. Adanya wacana reformasi profesi pustakawan , lahirnya forum-forum mungkin saja merupakan salah satu bentuk perwujudan rasa kecewa anggota IPI terhadap organisasinya , atau mungkin saja merupakan awal perjuangan menuju terciptanya Profil Pustakawan Indonesia yang kita cita-citakan bersama. Berlakumya Undang-Undang Otonomi Daerah beserta perangkat hukum lainnya mudah-mudahan dapat dijadikan modal awal bangkitnya IPI sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri IPI.

Kiprah IPI dan Kinerja Pustakawan

Dalam konteks organisasi profesi khususnya Profesi Pustakawan Indonesia (IPI), organisasi profesi yang baik adalah suatu organisasi profesi yang dapat menunjukkan dan mempunyai kapasitas untuk dapat berbagi pengalaman bersama ditandai dengan menjunjung tinggi moral dan etika profesi. Suatu profesi tidak akan berkembang, apabila kita tidak dapat menempatkan jati diri kita di tengah –tengah masyarakat yang cukup dinamis dalam era reformasi dewasa ini. Sungguh luar biasa tantangan yang dihadapi oleh para pustakawan Indonesia saat ini.

Globalisasi ekonomi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk berkompetisi dan bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, dimana sumber daya alam menjadi faktor yang kurang penting dibandingkan dengan sumber daya manusia. Lokasi sumber daya alam juga tidak lagi menjadi masalah, tetapi kemampuan manusia untuk berinteraksi dengan lingkungannya menjadi faktor yang amat kritis. Disamping itu perkembangan ilmu dan teknologi telah memaksa bangsa-bangsa untuk mengandalkan penguasaan ilmu dan teknologi itu dapat memenangkan kompetisi yang makin lama makin berat. Lingkungan manusia berubah amat cepat pada abad ke-21. Beberapa kecenderungan abad ke-21 yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, adalah kompetisi global, cepatnya produk-produk menjadi kuno (obsolescence), kecenderungan meningkatkan efisiensi dengan perampingan organisasi, perekayasaan kembali dunia usaha, pemberdayaan serta perbaikan kualitas semua proses dan produk di segala bidang yang dilakukan secara terus menerus, internasionalisasi perdagangan, berkembangnya masyarakat informasi (information society), serta perkembangan ilmu dan teknologi yang amat hebat. Toffler (1972) yang dikutip Sutjipto (2000) telah mengidentifikasi gejala itu sejak tahun 1970-an dan menyebut gejala itu dengan “ culture shock “.

Mencermati perubahan yang semakin dahsyat itu, organisasi profesi pustakawan Indonesia, hendaknya berupaya melakukan berbagai perbaikan dan pengembangan layanan terbaiknya bagi kepentingan masyarakat secara terencana dan berkesinambungan. Dengan demikian organisasi profesi ini tidak akan kehilangan arah baik dalam rangka pengambilan keputusan, maupun dalam rangka meningkatkan mutu organisasi. Sudahkah pustakawan Indonesia mengantisipasi perkembangan dan menjembatani kearah tersebut? Bukankah modal untuk itu kita sama-sama memilikinya?.

Berangkat dari visi pustakawan diabad informasi, ada beberapa masalah pokok yang merupakan isu strategis yang perlu dicermati dan perlu mendapat perhatian kita semua , diantaranya:

(1) Bagaimana organisasi pustakawan Indonesia dapat sejajar dengan profesi lain?

(2) Sistem dan tatanan organisasi IPI yang bagaimanakah yang dapat memberikan peluang yang sama bagi seluruh anggota dalam segala dimensinya menuju pemberdayaan anggota IPI secara utuh ? ( Setiarso, 1997).

(3) Apakah landasan filosofis variabel utama IPI = Organisasi Profesi Kepustakawan Indonesia yang ditawarkan Sudarsono (1997) telah dapat dilaksanakan oleh seluruh anggota IPI ?

Selanjutnya mari kita renungkan apa yang telah dituangkan dalam Keputusan Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan dan Latihan Perpustakaan di Indonesia yang dilaksanakan tanggal 9 –11 Agustus 1994 di Aula the British Council, ada 2 Aspek Profil Pustakawan Indonesia ( Pustakawan Ideal) yang cukup menarik kita diskusikan dalam Rakerpus XI IPI pada hari ini :

(1) Aspek Profesional : Pustakawan Indonesia berpendidikan formal ilmu perpustakaan. Pustakawan juga dituntut gemar membaca, trampil, kreatif, cerdas, tanggap, berwawasan luas, berorientasi ke depan, mampu menyerap ilmu lain, objektif (berorientasi pada data dan fakta), generalis di satu sisi, tetapi memerlukan disiplin ilmu tertentu di pihak lain, berwawasan lingkungan , mentaati etika profesi pustakawan, mempunyai motivasi tinggi, berkarya di bidang kepustakawan, dan mampu melaksanakan penelitian dan penyuluhan.

(2) Aspek kepribadian dan prilaku: Pustakawan Indonesia harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa, bermoral Pancasila, mempunyai tanggung jawab sosial dan kesetiakawanan, memiliki etos kerja yang tinggi, mandiri, loyalitas tinggi terhadap profesi, luwes, komunikatif, dan bersikap suka melayani, ramah tamah dan simpatik terbuka terhadap kritik dan saran, selalu siaga dan tanggap terhadap kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi, berdisiplin tinggi, dan menjunjung tinggi etika pustakawan Indonesia. Kedua aspek tersebut sungguh luar biasa, apabila persyaratan tersebut dapat dimiliki oleh para Pustakawan Indonesia.

Perjalanan sejarah wadah profesi pustakawan Indonesia hampir selama tiga dasa warsa, hendaknya menjadi bahan renungan kita bersama. Dan kini masyarakat menanti kiprah lebih nyata dari para Pustakawan Indonesia yang menyentuh ke segenap lapisan masyarakat Indonesia yang majemuk dan kritis. Pustakawan Indonesia dituntut agar lebih mandiri dalam segala hal, gaung pustakawan … non jauh disana perlu kita dengar sebagai tuntutan otonomi daerah. Hasil rapat Koordinasi Tim Penilai Pejabat Fungsional pustakawan yang baru saja dilaksanakan tanggal 30 Oktober 2001 sudah mengisyaratkan ke arah itu. Mau tidak mau, suka tidak suka inilah kenyataan yang perlu dipertimbangkan dan didiskusikan pada hari ini.

Berbicara peningkatan profesionalisme di bidang profesi kepustakaawan adalah suatu “Conditio Sine Quanon” yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, apabila profesi pustakawan hendak sejajar dengan profesi lain. Profesi pustakawan dituntut untuk mampu bersikap lebih terbuka, suka kerja keras, suka melayani, mengutamakan pengabdian serta aspek-aspek kepribadian dan perilaku. Tuntutan hal tersebut,menurut hemat penulis itulah kata kunci yang sebenarnya yang perlu terus menerus diaplikasikan dalam menjalankan arti profesi.

Dalam mengantisipasi masa mendatang, pustakawan hendaknya selalu tanggap terhadap perkembangan teknologi informasi,, mengenal seluk beluk manajemen, menguasai cara-cara penyediaan informasi, dan memahami sumber-sumber informasi, serta mengetahui sistem jaringan informasi.

Otokritik

Banyaknya kritik yang dilontarkan terhadap organisasi profesi pustakawan Indonesia (IPI), baik kritik dari internal, maupun eksternal organisasi, hal ini disebabkan antara lain pustakawan Indonesia kurang memahami jati dirinya. Menurut hemat penulis organisasi yang diharapkan adalah suatu organisasi yang setiap saat mengalami perubahan dalam arti yang positif, tidak selalu berada pada statusquo/ stagnansi. Perubahan sekecil apa pun harus dapat diterima sebagai sumbangsih dan pengabdian diri kita sebagai profesi. Perjalanan sejarah organisasi profesi Pustakawan Indonesia selama hampir tiga dasawarsa tidak sepenuhnya merupakan suatu kegagalan Kegagalan masa lalu dan sekarang mudah-mudahan dapat dijadikan sebagai modal utama menuju kesuksesan yang menjadi harapan kita semua, dan bukan suatu rintangan. Paul J. Meyer pernah mengatakan” 90% orang-orang yang merasa gagal belum tentu gagal… hanya saja mereka cepat menyerah”. Faktor terpenting yang menentukan keberhasilan suatu organisasi terletak bagaimana organisasi mengatasi kegagalan. Dornan (1998) memberikan ilustrasi kata “gagal” dan keberhasilan . Kata gagal selalu berkonotasi negatif. Bukankah orang paling benci dengan kata ini? Coba saja, jika anda mendengar seseorang membicarakan tentang hal-hal yang bernada kegagalan dan keputusasaan, mau tidak mau kata tersebut akan berpengaruh buruk terhadap diri anda, misalnya kata –kata kemiskinan, tidak punya teman, tidak punya uang. Sebaliknya kata-kata yang berhubungan dengan “ keberhasilan” mempunyai konotasi positif karena mengandung harapan. Lebih jauh Dornan menekankan ada beberapa hal yang menyebabkan orang takut akan kegagalan diantaranya:

- takut dikritik

- takut mengambil resiko

- takut kehilangan percaya diri

- takut tidak mendapat kesempatan lagi.

Atas dasar takut akan kegagalan Dornan memberikan solusi dalam mengatasi kegagalan sebagai berikut :

- mengenali lebih dulu penyebab kegagalan

- belajar dari kegagalan dengan mempelajari penyebabnya

- kenali dulu kelemahan anda

- ubah cara kerja anda sesuai kebutuhan

Organisasi profesi pustakawan Indonesia (IPI) baik dari tingkat pusat, daerah,dan cabang di mana pun berada, harus berani dikritik, berani mengambil resiko, tidak boleh takut kehilangan rasa percaya diri, tidak boleh takut tidak mendapat kesempatan lagi. Menurut hemat penulis pola kepemimpinan yang perlu diterapkan oleh Pengurus organisasi ini baik tingkat pusat, daerah dan cabang harus menunjukkan keberanian (courage)dalam menentukan aturan keanggotaan. Ternyata aturan anggaran rumahtangga PAPSI( Perhimpunan Ahli Perpustakaan Indonesia tahun 1954 lebih baik dari anggaran rumah tangga IPI tahun 1999 dalam hal menerapkan sangsi bagi anggota yang tidak membayar iuran anggota. Dalam anggaran rumahtangga tersebut dinyatakan sebagai berikut:

- Anggota yang diterima sebelum 30 Juni membayar iuran untuk setahun penuh, yang diterima sesudah 30 Juni membayar iuran (setengah tahun). Pembayaran dilakukan ketika diterima menjadi anggota.

- Apabila seorang anggota menunggak iuran satu tahun, maka kepadanya akan dikirim surat peringatan, dan sebulan sesudah surat itu keluar pembayaran belum juga dilakukan,maka pengurus berhak mengeluarkannya dengan keputusan suara terbanyak.

- Anggota yang menunggak iuran setahun, di dalam rapat tahunan tidak boleh memberi suara atau tidak boleh dipilih untuk suatu jabatan.

Sedangkan aturan semacam itu tidak ada dalam anggaran rumah tangga IPI tahun 1999 Bukankah Russel Bowden sewaktu menjadi konsultan IPI sering memberikan rekomendasi khususnya mengenai iuran anggota sebagai modal dasar organisasi. Barangkali ini perlu dipertimbangkan dalam rapat kerja kali ini sebagai bahan masukan kongres IPI tahun 2002. Beberapa rekomendasi program kerja dari komisi organisasi yang pernah dilontarkan oleh Blasius Sudarsono dan Bambang Setiarso sebenarnya cukup efektif untuk dilaksanakan sebagaimana dilontarkan dalam isu strategis pada pemaparan sebelumnya. Dalam konteks kemandirian organisasi (Hernandono,1997) mengungkapkan seebagai suatu organisasi profesi, IPI dirasakan oleh sebagian orang belum mandiri, keuangan IPI masih banyak tergantung pada subsidi dan bantuan instansi di bidang perpustakaan di Indonesia (Perpustakaan Nasional RI) dan Badan-badan lain, baik pemerintah maupun swasta. Disamping itu, keterlibatan para anggota IPI belum dapat dilaksanakan secara optimal. Celakanya pustakawan masih sibuk mempertanyakan apa keuntungan menjadi anggota. Bukankah kepercayaan yang kita emban dari anggota IPI juga amanah dari Tuhan? Penulis juga sependapat apa yang diungkapkan Zulfikar Zen dalam Marsela terbitan terbarunya (juni 2001) dalam rangka kebersamaan , apakah kebersamaan yang kita buat akan berubah? Bukankah kalau bersatu, kita akan teguh? Marilah berat sama-sama kita pikul, meskipun kalau ringan masing-masing dapat membawanya sendiri-sendiri Insya Allah…! Himbauan tersebut mari kita refleksikan dalam organisasi yang kita cintai ini.

Penutup

Dari berbagai permasalahan kinerja pustakawan dan kiprah organisasi profesi pustakawan (IPI) ijinkanlah penulis memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

(1) Setiap permasalahan yang muncul baik dari anggota maupun pengurus hendaknya perlu dipertimbangkan dari berbagai sudut pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang efektif hendaknya sesuai dengan kebutuhan anggota. Pengurus Pusat hendaknya berkonsentrasi pada kebijakan yang berskala Nasional dan lebih banyak memberikan otonomi kepada pengrus daerah sebagai basis pengembangan karir para pustakawan yang ada di daerah. Sedangkan pengurus cabang lebih banyak berkonsentrasi pada tuntutan kebutuhan anggota sebagai basis operasional kegiatan profesi.

(2) Otonomi Daerah hendaknya dapat dijadikan modal awal para pustakawan di daerah untuk terus mengembangkan karir profesi kepustakawanannya untuk lebih mengenal jati dirinya sebagai anggota profesi yang pada gilirannya profesi pustakawan akan lebih dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai organisasi yang lebih mandiri.

(3) Kerjasama antara Pemerintah Daerah dan Organisasi Profesi yang ada di daerah (PD dan PC) merupakan suatu keharusan jika kita hendak sejajar dengan organisasi profesi lain.

(4) Tuntutan profesionalisme yang diamanatkan oleh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga lebih-lebih tercermin dalam kode etik pustakawan sekalipun masih dipertanyakan hendaknya dijadikan aset yang cukup berharga sebagai suatu organisasi yang dituntut kemandiriannya.

(5) Persaingan global yang cukup kompetitif disegala bidang merupakan tantangan profesi kepustakawanan untuk dapat melakukan terobosan yang lebih bermakna ketimbang memikirkan dan mempertajam perbedaan yang tak pernah terselesaikan bahkan lebih memunculkan permasalahan baru yang lebih rumit.

(6) Kunci keberhasilan suatu organisasi akan banyak bergantung sejauh mana pengurus dan anggota dapat mengimplementasikan program kerjanya dengan terus menjunjung tinggi asas kebersamaan sesama anggota. Pilar-pilar kegagalan dan keberhasilan suatu organisasi masa lalu dan sekarang hendaknya dapat dijadikan bahan renungan kita semua untuk melangkah lebih jauh. Bahkan perubahan sekecil apapun akan lebih baik, ketimbang kita mempertahankan status quo.

SUMBER RUJUKAN

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Pustakawan Indonesia . 1997. Pengurus Pusat Ikatan Pustakawan Indonesia

Dornan, Jim dan John C. Maxwell.1998. Strategi menuju sukses. Georgia: Network Twentyone.

Harahap, Basyral Hamidy dan J.N.B. Tairas.1998. Kiprah Pustakawan Seperempat Abad Ikatan Pustakawan Indonesia 1973-1998. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia.

Koswara, E.(Ed.).1998. Dinamika Informasi dalam Era Global. Bandung: PD-IPI Jawa Barat bekerjasama dengan Remaja Rosdakarya.

Prosiding Rakerpus IPI ke-9 dan Seminar Ilmiah. (Jakarta, 9-11 Desember 1997). Pengurus besar Ikatan Pustakawan Indonesia.

Prosiding Rapat Kerja Pusat VIII dan Seminar Ilmiah. (Kuta, Denpasar, Bali, 8-11 Desember 1996). Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia.

http://www.google.co.id/search?hl=id&q=Etika+Profesi++perpustakaan&btnG=Telusuri&meta=

Tidak ada komentar: