Oleh : Oky Widyanarko
Rapat Paripurna DPR yang dihadiri wakil pemerintah Mendiknas Bambang Sudibyo dan Menhukham Andi Matalatta pada hari Selasa tanggal 2 Oktober 2007 menyetujui RUU Perpustakaan untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Seluruh Fraksi menyatakan dukungannya terhadap RUU tersebut. Itulah babak baru perkembangan dunia perpustakaan, pustakawan dan kepustakaan di Indonesia dimulai setelah sekian lama kondisinya carut marut tanpa ada kepastian hukum yang jelas dan terintegrasi . Menurut Mendiknas, UU Perpustakaan penting untuk mengantisipasi era e-library. UU ini mengatur antara lain hak dan kewajiban warga negara terhadap perpustakaan, jenis-jenis perpustakaan, perpustakaan nasional, profesi pustakawan, pekerja perpustakaan dan pembudayaan kegemaran membaca. UU tentang perpustakaan tersebut selanjutnya akan dijabarkan lagi pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah (PP).
PUSTAKAWAN DAN ORGANISASI PROFESI
Dalam UU Perpustakaan yang baru saja disahkan, profesi pustakawan sebagai pekerja perpustakaan mulai diakui eksistensinya baik oleh pemerintah maupun masyarakat, Meskipun kita belum tahu pasti apakah nantinya dalam pelaksanaan UU tersebut yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) akan disebutkan secara lebih detail mengenai hak-hak yang akan diterima pustakawan beserta kewajibannya. Menengok kembali ke belakang dimana profesi ini ibarat jarum dalam sekam. Profesi pustakawan memang tidak terdengar di kancah pemberitaan pers baik di media lokal maupun nasional. Profesi yang eksistensinya baru muncul pada tahun 1973 ketika berlangsungnya kongres Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) yang pertama di Ciawi Bogor pada tanggal 5-7 Juli 1973 hampir tenggelam beritanya. Bandingkan dengan profesi-profesi lain seperti dokter, pengacara, jaksa, guru atau dosen. Bagaimana dengan pustakawan , ada apa gerangan dengan profesi yang satu ini, apakah masyarakat kita belum begitu mengenal atau malah mencibirkan profesi ini. Padahal pustakawan merupakan profesi yang langka dengan kompeten keilmuannya, sama halnya dengan profesi seperti arsiparis, arkeolog, astronomi, sosiolog yang merupakan profesi-profesi keilmuan langka . Berbeda kenyataannya di negera lain yang sangat menghargai profesi ini. Mereka disejajarkan dengan profesi yang lebih “mentereng” bahkan dengan dokter sekalipun. Sebagai contoh di Amerika Serikat , ALA (American Library Association) yang merupakan perhimpunan organisasi perpustakaan dari seluruh negara bagian di sana setiap tahunnya dapat memberikan beasiswa kepada negara-negara lain khususnya negara berkembang atau dunia ketiga. Mereka menawarkan berbagai program bantuan seperti beasiswa studi lanjut pendidikan perpustakaan di Amerika Serikat, pemberian training kepustakaan,wadah perhimpunan perpustakaan dari seluruh negara bagian di Amerika Serikat, wadah perhimpunan para pustakawan dan pekerja perpustakaan (Library worker). ALA sendiri juga dapat dikatakan sebagai lembaga yang memiliki otoritas mengatur masalah standarisasi perpustakaan, kepustakaan, pustakawan dan pekerja perpustakaan (Library worker) sehingga dijamin akan kompetensinya dan kualitasnya. Entah di negeri kita sendiri apa ada lembaga yang seperti itu karena kita masih melihat carut marutnya peran dan tugas perpustakaan nasional dan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) yang masing-masing memposisikan dirinya pada jalur yang berbeda dan tidak terikat satu sama lainnya.
KONDISI MASA LALU IPI
Bagaimanakah dengan peran pustakawan di negara kita ini, IPI sebagai organisasi yang menaungi profesi pustakawan memang belum maksimal dalam meningkatkan martabat pustakawan sebagai tenaga profesional yang dihargai masyarakat. IPI harus berubah dan mau merubah strateginya dalam mengembangkan profesi ini. Apa sebetulnya kendala yang dihadapi IPI, banyak kendala yang dihadapi antara lain kurang koordinasinya antar pengurus maupun cabang, vakumnya kegiatan yang berhubungan dengan kepustakaan dan kepustakawanan, rasa solidaritas yang kurang sesama anggota, belum semua pustakawan dan pekerja perpustakaan di Indonesia merupakan anggota IPI, masih adanya dikotomi pustakawan yang bernaung dalam “Pegawai Negeri” atau pustakawan yang berkarier di pemerintahan dan pustakawan non pemerintah atau swasta, tidak adanya dukungan pemerintah di daerah dalam mengembangkan perpustakaan, kepustakaan dan kepustakawanan. Apakah untuk mewujudkan agar profesi ini lebih diakui eksistensinya perlu campur tangan pemerintah. Jawabannya adalah pasti!. Tidak hanya itu IPI harus dikelola secara profesional dan dapat memposisikan diri sebagai organisasi yang kredibel dan prediktable. Tanggungjawab pemerintah juga untuk mengatur organisasi profesi pustakawan dengan memberikan payung hukum atau perangkat perundang-undangan.
MEMBANDINGKAN PUSTAKAWAN DENGAN GURU DAN DOSEN
Agar sebuah profesi tetap eksis dan bermartabat perlu didukung oleh payung hukum yang dilindungi oleh negara.Sebagai contoh sejak dikeluarkannya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pemerintah tidak membedakan profesi tersebut berdasar dimana lingkungan mereka bekerja, apakah mereka guru dan dosen negeri (PNS) atau guru dan dosen swasta. Profesi tersebut diberikan hak-hak yang pantas dan dihargai harkat dan martabatnya karena mereka selama ini telah menjalankan kewajibannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan dalam Konstitusi. Hak-hak yang diberikan pun tidak membedakan apakah mereka dari golongan PNS atau swasta. Jika memenuhi semua persyaratan, mereka dapat diberi berbagai macam tunjangan, hak cuti bahkan diberi perlindungan keamaanan selama mereka bertugas. Pada pasal 51 sampai dengan 59 UU No. 14 tahun 2005 misalnya seorang dosen dapat mendapat tunjangan kehormatan, cuti, pengembangan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dsb. Seharusnya Profesi Pustakawan pantas iri juga, bukankah pustakawan selama ini dikenal sebagai profesi yang menunjang tugas guru dan dosen dalam proses pendidikan. Dengan tidak diaturnya secara utuh perihal profesi pustakawan dalam UU No. 43 tahun 2007 yang baru saja disahkan menjadi UU tentang Perpustakaan, kelihatannya profesi ini masih dianggap sebelah mata di negeri kita sendiri. Beberapa peraturan yang dikeluarkan pemerintah selama ini (lihat Perpres RI No. 40 tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional, Arsiparis dan Pustakawan) memang mengatur profesi tersebut tapi hanya sekedar pemberian tunjangan fungsional bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sedangkan bagi mereka yang mengabdikan diluar pemerintahan tidak diatur secara mengikat, bagaimana dengan hak-hak lain seperti perlindungan profesi selama mereka bekerja, hak pengembangan pendidikan profesi ke jenjang yang lebih tinggi, hak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup, hak otonomi keilmuan, dan hak berserikat. Justru dikeluarkannya Perpres RI No. 40 tahun 2006 yang hanya berlaku dan dikhususkan pada pustakawan yang menjalankan tugasnya di birokrasi atau berkarir sebagai pegawai negeri sipil ( PNS ) semakin nampak dikotomi antara pustakawan pemerintah dan “pekerja Perpustakaan” di luar pemerintah. Mengapa penulis menyebut pekerja perpustakaan di luar pemerintah karena sebelum RUU Perpustakaan yang diajukan pemerintah disahkan oleh DPR bulan Oktober 2007 lalu belum ada peraturan setingkat Undang-Undang yang mengatur secara kompleks mengenai profesi ini. Secara nomenklatur sebutan pustakawan sebenarnya berlaku umum tidak mengenal dikotomi pemerintah atau non pemerintah, tapi kenyataannya semua peraturan resmi mengenai pustakawan yang dikeluarkan pemerintah cenderung menguntungkan pustakawan dalam birokrasi. Sedangkan nasib pustakawan yang bekerja di swasta, pemerintah sepertinya merasa belum terlalu “urgen” untuk mengaturnya. Pustakawan non pemerintah yang selama ini banyak bekerja di sektor swasta misalnya jangan berharap mereka mendapat tunjangan fungsional seperti rekan-rekan mereka di pemerintahan, kompensasi yang mereka terima pun harus sama dengan pekerja biasa yang tidak memiliki keahlian apapun. Alangkah gembiranya jika harapan kita profesi pustakawan dapat dihargai dengan UU dimana diatur masalah hak dan kewajiban sebagai seorang profesional yang melayani masyarakat tanpa memandang lingkungan mereka bekerja. Mungkin masih jauh harapan itu tapi bukan berarti itu hal yang mustahil jika kemudian IPI sebagai lembaga bernaungnya para pustakawan berusaha memperjuangkan UU profesi itu atau paling tidak dapat mengusulkan kepeda pemerintah dalam pembuatan peraturan pemerintah sebagai pelaksana UU No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan dijabarkan lagi secara lebih kompleks mengenai hak dan kewajiban profesi pustakawan.
PROFESI PUSTAKAWAN KEDEPAN
Pustakawan memang tidak seharusnya menuntut akan hak-haknya saja tetapi juga dibebankan akan kewajibannya terhadap negara dan masyarakat. Jika Profesi ini menginginkan dihargai sebagai profesional maka perlu ada regulasi mengenai sebutan pustakawan tersebut dan apa saja hak dan kewajibannya. Bagaimanakah dengan kualifikasi pustakawan saat ini, apakah juga sudah memenuhi standar kompetensi seperti juga yang dipersyaratkan UU terhadap guru dan dosen misalnya. Kualifikasi akademik belum menjamin bahwa tenaga pustakawan dapat menjadi tenaga profesional yang berkompeten, Alangkah baiknya jika perlu adanya sertifikasi bagi pustakawan . Lihat saja bagaimana di sekolah dasar dan menengah kita masih rancu menentukan status apakah ia seorang guru atau pustakawan. Jika guru, mereka selama ini hanya bertugas di perpustakaan dan tidak pernah sekalipun mengajar, sedangkan jika disebut pustakawanpun tidak tepat karena kualifikasi akademik mereka tidak berasal dari latar belakang ilmu perpustakaan atau dokumentasi. Hingga sering ada sebutan “guru pustakawan” , bukannya guru pelajaran ilmu perpustakaan tapi karena mereka bekerja di sekolah tapi tidak mengajar hanya sekedar menjadi pelayan informasi di perpustakaan sekolah . Masih mujur nasib pustakawan yang bekerja di perguruan tinggi, meskipun bekerja di luar pemerintahan atau swasta , ada beberapa Perguruan tinggi swasta yang mengadopsi aturan pemerintah mengenai pengakuan pustakawan sebagai tenaga kerja profesional di bidangnya, sehingga kepadanya juga diberikan tunjangan fungsional seperti rekan-rekan mereka yang bekerja sebagai PNS , meskipun nilai nominalnya lebih kecil. Tapi ada juga lapangan kerja di luar pemerintah yang sama sekali tidak mengakui eksistensi profesi ini bahkan tidak mengenal sama sekali sebutan pustakawan. Mereka yang bekerja meskipun memiliki kualifikasi perpustakaan, kepustakaan dan kepustakawanan hanya diberi pengakuan sebagai tenaga administrasi saja atau dikenal sebagai pekerja perpustakaan. Hak mereka seperti tunjangan fungsional tidak diberikan.
Pemberian apresiasi terhadap suatu profesi sebaiknya juga diperhatikan oleh pemerintah nantinya dalam pembuatan peraturan pemerintah sebagai pelaksana UU No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan yang baru saja disahkan bersama DPR bulan Oktober lalu. Regulasi yang dibuat diharapkan memuat persyaratan untuk mendapatkan pengakuan sebagai pustakawan. Persyaratan tersebut berupa kualifikasi secara akademik dan sertifikasi yang berlaku secara umum. Di beberapa negara maju untuk dapat disebut sebagai seorang profesional tidak begitu mudahnya, syarat pertama memang harus memiliki keilmuan yang kompeten dengan dibuktikan memiliki ijasah ilmu perpustakaan atau ilmu pengelolaan dokumentasi dari sekolah atau lembaga yang terakreditasi oleh pemerintah. Saat ini sudah banyak perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang telah membuka program studi atau jurusan ilmu perpustakaan dan manajemen informasi baik setingkat Diploma tiga (D3),Strata satu (S1) dan setingkat magister (S2) sebut saja UI di Jakarta, Unpad dan UNINUS di Bandung, Unair di Surabaya, UGM dan IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta, Undip di Semarang dan UNS di Solo. Syarat berikutnya pustakawan harus memiliki sertifikat yang telah disahkan pemerintah dan diakui baik tingkat lokal, regional, nasional bahkan internasional. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut , seseorang harus mengikuti uji kompetensi. Uji kompetensi bisa diadakan cukup sekali atau diatur dalam periode tertentu misalnya setahun sekali oleh lembaga atau badan yang ditunjuk oleh pemerintah. Materi yang diujikan dapat berupa kompetensi pedagogic, kompetensi profesionalisme, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial Dalam hal ini IPI atau Perpustakaan Nasional dapat ditunjuk UU sebagai badan atau lembaga yang mempunyai otoritas sertifikasi pustakawan. Pustakawan yang lulus uji sertifikasi nantinya layak menyandang sebutan pustakawan, mendapat hak tunjangan fungsional, hak perlindungan profesi, hak pengembangan profesi, tanpa membedakan apakah mereka bekerja di lingkungan pemerintahan atau di swasta.
HARAPAN BARU
Kita berharap semoga UU tentang perpustakaan tidak hanya menjadi ajang legitimasi suatu bentuk lembaga perpustakaan saja tapi juga mengatur pemberian apresiasi SDM dalam hal ini pustakawan dan pekerja perpustakaan (Library worker) yang bekerja di lingkungan tersebut tanpa membedakan mereka bekerja pada pemerintah ataupun swasta karena tujuan mereka adalah mulia sebagai tenaga penunjang pendidikan (akademik) dimana seharusnya mereka disejajarkan dengan profesi lainnya di dunia pendidikan seperti guru, dosen, laborat, dan peneliti. Mereka juga mempunyai kode etik dan dengan kode etik pustakawan ini,” setiap pustakawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa profesi mereka adalah profesi yang terutama mengemban tugas pendidikan dan penelitian” diharapkan pekerja di bidang kepustakaan ini dapat bekerja secara profesional di bidangnya seperti halnya beberapa profesi lain yang selama ini sudah diakui negara berdasarkan UU dan Pustakawan dapat mengisi lembaran –lembaran baru dalam kiprahnya membangun bangsa dan negara Indonesia. Selamat datang UU No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Semoga saja pemerintah tidak melupakan profesi tersebut.
Daftar Bacaan :
HARAHAP, Basyral Hamidy, Kiprah Pustakawan : Seperempat Abad Ikatan Pustakawan Indonesia 1973-1998, Jakarta : Pengurus Besar IPI, 1998.
INDONESIA, Guru dan Dosen : UU RI No. 14 tahun 2005, Bandung : Fokusmedia, 2006
http://www.ala.org/ala/proftools/professional.htm, akses 20 Nopember 2007
http://www.antara.co.id/arc/2007/10/2/dpr-setujui-uu-perpustakaan/, akses 20 Nopember 2007
http://hukumonline.com/detail.asp?id=17729&cl=Aktual, akses 20 Nopember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar